Selasa, 30 Mei 2017

MAKALAH OTONOMI DAERAH




MAKALAH OTONOMI DAERAH

DISUSUN OLEH
KELOMPOK VI:
1.      NURLAELA (160103096)
2.      ROKYATUL AENI (160103098)
3.      ANA FAIZATI (160103091)

TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
2016

 
KATA PENGANTAR
        Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang otonomi daerah. Dan tidak lupa pula kami haturkan shalawat dan salam atas junjungan baginda nabi besar Muhammad saw yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar.
        Kami berterima kasih kepada bapak Dr.M.Saleh Ending selaku dosen mata kuliah pancasila dan kewarganegaraan IAIN MATARAM, yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai otonomi daerah. Dan kami juga menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat  banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan yang bisa membantu kami dalam menyusun makalah yang lain. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
        Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami dan bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini.





BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu di tandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya .Perubahan tersebut pada satu sisi menadai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi disisi lain hal ini dapat pula di pahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahin 1984 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 ( sebagian pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia ), UU Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut system otonomi yang seluas-luasnya), UU Nomor 5 tahun 1974.
2.      Rumusan masalah
k)      Arti otonomi daerah.
l)        Arti penting otonomi desentralisasi.
m)    Visi otonomi daerah.
n)      Model desentralisasi.
o)      Sejarah otonomi daerah di Indoneia.
p)      Prinsip-prinsip otonomi daerah dalam UU OTDA.
q)      Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dalam UU No.22 tahun 1999.
r)       Otonomi daerah dan demokrasi.
s)       Syari’at islam dan otonomi daerah.
t)       Otonomi daerah dan isu gender.
3.      Tujuan penulisan
Tujuan utama penulisan makalah ini, yaitu agar pembaca dapat memahami arti dari otonomi daerah dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari guna untuk mewujudkan daerah yang aman dan tentram.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      ARTI OTONOMI DAERAH
Otonomi dalam makna sempit di artikan sebagai ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas di artikan sebagai ‘berdaya’.Otonomi daerah dengan demikian berarti  kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut,maka daerah dapat di katakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa ada tekanan dari luar (external intervention). Otonomi daerah dapat di artikan sebagai hak,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      ARTI PENTING OTONOMI DESENTRALISASI
            Memasuki abad ke-21, Indonesia tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak-porandakan hamper seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah di bangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan  semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh system menejemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, dimana kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah di landasi dengan argumentasi yang kuat baik secara teoritik maupun empiric. Kalangan teoritis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat di pertanggungjawabkan baik secara empiric ataupun normative-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu:
1.      Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintah.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang social, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi social, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif atas hhal yang telah di ungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa ataupu yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2.      Sebagai sarana pendidikan politik.
John stuart mill dalam tulisannya “Representative Government” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk di pilih dalam suatu jabatan politik. Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional dan memiloh pemimpin nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik local, baik dalam pemilihan umum local ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publuk.
3.      Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional.
4.      Stabilitas politik.
Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nesional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat local. Terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5.      Kesetaraan politik.
Dengan di bentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Masyarakat di tingkat local, sebagaimana halnya masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah itu dengan melalui pemberian suara pada waktu pemilihan kepala desa, bupati, wali kota, dan bahkan gubernur. Di samping itu warga masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun secarra berkelompok akat ikut terlibat dalam mempengaruhi pemerinyahannyya untuk membuat kebijakan, terutama yang menyangkut  kepentingan mereka.
6.      Akuntabilitas public.
Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termassuk daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat di mungkinkan sejak dari awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan dengan evaluasi. Dengan demikian, maka keputusan yang di buat dapat di awasi secara langsung dan dapat di pertanggungjawabkan karena masyarakkat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.
3.      VISI OTONOMI DAERAH
Visi desentralisasi merupakan symbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada kepada daerah. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama, yaitu:
a.       Di bidang politik
Otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus di pahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang di pilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban public.
b.      Di bidang ekonomi
Otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluan bagi pemerintah daerah  mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangu berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
c.       Di bidang social dan budaya
Di dalam bidang social ddan budaya, otonomi daerah harus di kelola sebaik mungkin demi menciptakan memelihara harmoni social, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai local yang di pandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
4.      MODEL DESENTRALISASI
Rondinelli membedakan desentralisasi menjadi 4 bentuk:
1.      Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi menurut rondinelli, pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawwab administrative antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi itu hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah, tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan. Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi, yaiu administrasi lapangan dan administrasi local. Dalam tipe administrasi lapangan, pejabat lapangan di beri keleluasaan untuk mengambil keputusan seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.  
2.       Delegasi
Delegation to semi autonomous sebagai bentuk kedua yang disebutkan oleh     Rondinelli adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya di berikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.Bahkan kadang-kadang berada di luar ketentuan yang di atur oleh pemerintah pusat, karena bersifat lebih komersial dan mengutamakan ofisiensi dari pada prosedur birokratis dan politis.
Berbeda dengan dekonsentrasi, isu sentral baik delegasi maupun devolusi berkaitan dengan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan daerah dan pusat. Delegasi menurut Litvack merujuk pada sebuah situasi di mana pemerintah pusat mentransfer tanggung jawab kepada (responsibility)pengambilan keputusan dan fungsi administrasi public kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi semi ekonomi yang seoenuhnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat akan tetapi pada akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya. Bentuk desentralisasi semacam ini dapat dicirikan sebagai hubungan prisipilagen (principal-agent-relationship) di mana pemerintah pusat sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agen.
3.      Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah diluar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsitertentu kepada unit-unit untuk dilaksanakan secara mandiri .bentuk devolusi mempunyai lima karekteristik :
1.      Unit pemerintah local bersifat otonom, madiri, dan secara tegas berpisah dari tingkat-tingkat pemeritah. Pemerintah pusat tudak melakukan pengawasan langsung terhadapnya.
2.      unit pemerintahan local diakui mempunyai batas-batas wilayah yang jelas dan legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan.
3.      unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya,
4.      pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah semacam ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan di hadapan warganya.
5.      terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu system pemerintahan.
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputas, keuangan dan menejemenkepada unit otonomi pemerintah daerah.Dalam pandangan Rondinelli devolusi merupakan upaya untuk memperkuat pemerintah daerah secara legal yang secara substansil kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali langsung pemerintah pusat. Menurut Mawhood sebagaimana dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang mekat pada devolusi yaitu
1.      Adanya sebuah badan local yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada pelayanan local yang signifikan .
2.      Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
3.      Harus mengembangkan komfetensi staf.
4.      Anggota dewan yang terpilih  yang beroperasi pada garis partai harus menentukan kebijakan dan prosedur internal.
5.      Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator luar (external advisors & evaluators)
4.      Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi menurut Rondinelli adalah privasi (transfer of functions from government to non governmrnt institutions) Pripatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sudan sukakarela, swasta, dan swadya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan BUMD dilebur menjadi PT. Dalam beberapa misalnya pemerinan mentransfer beberapa kegiatan kepada kamar dagang dan industry, koperasi dan asosiasi lainnyauntuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan da pengawasan, yang semula di lakukan oleh pemerintah. Dalam hal kegiatan social, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada lembaga swadya masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan social, termasuk melatih dan meningkatkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat.


5.      SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Undang-Undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan masyarakat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintah daerah yang demokratis. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah.Pemberian otonom kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintah tentang penyerahan sebagian usrusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu di tandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya .Perubahan tersebut pada satu sisi menadai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi disisi lain hal ini dapat pula di pahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahin 1984 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 ( sebagian pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia ), UU Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut system otonomi yang seluas-luasnya), UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang di sebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.Prinsip yang di pakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dar bertanggung jawab”.Alasannya pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menumbulkan kecendrungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang di gariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru di ganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 tahun1999 setelah tuntutan reformasi dikomandangkan.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Satu hal yang paling menonjol dan pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi.
Perubahan tersebut dapat di amati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam undang-undang nomor 25 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasisedangkan dekonsentrasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika di kaitkan dengan kedudukan kepala daera. Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah.Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan di banding sebagai kepala daerah.Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dan rakyat di daerah yang memilihnya.
Momentum otonmi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tepatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahana kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonimi dan desentralisasi kekuasaan politik.
6.      PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DALAM UU OTDA
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang di jadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999, yaitu:
1.      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuuh di letakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi daerah administrasi.
7. PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
DALAM UU NO.22 TAHUN 1999
            Pembagian kekuasan antara pusat daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme.jenis kekuasaan yang di tangani pusat hampir sama dengan yang di tangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijaksanaan makro ekonmi, stndarisasi nasional, administrasi pemerintah, badan usaha milik negara,dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat di sebutkan secara sfesifik dalam UU tersebut.
Terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah Otonom Kota, yaitu:
1.      Pertahanan,
2.      Pertanian
3.      Pendidikan dan kebudayaan
4.       Tenaga kerja
5.      Kesehatan
6.      Lingkungan hidup
7.      Pekerjaan umum
8.      Perhubungan
9.      Perdagangan dan industri
10.  Penanaman mdal, dan
11.  Koperasi
Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja :
a)      Politik luar negeri
b)      Pertahanan
c)      Keamanan
d)     Yustisi
e)      Moneter dan fiscal nasional, dan
f)       Agama.

8.OTONOMI DAERAH DAN DEMOKRASI
Ekstensi kebijakan ekonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai sebagian dari agenda demokratisasi  kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh  di pandang sebagai a final des tination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya dapat dimengerti apabila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonmi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local responsovenessr. Diantara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah harus memiliki teral readeritorial kekuasaan yang jelas (local own income); memiliki badan perwakilan (local refresentative body) yang mampu mengontrol eksekutipdaerah; dan adanya kepala daerah yang pilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election)
Dengan rumusan dan tujuan ekonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan ekonomi daerah akan mampu menciptakan sistem pemerintah yang demokratis. Argumen dasarnya adalah, dengan konsep tersebut diasumsikan masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintah didaerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda demkratisasi merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanakan otonomi daerah apabila keadilan dan kesejahteraan yang lebih bagi masyarakat daerah menjadi target pencapaian.
Keterkaitan otnomi daerah dengan demokratisasi pernah di ungkapkan oleh Mohammad Hatta, proklamator RI, dalam suatu kesempatan.
...memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorng berkembangnya auto-aktiviteit.auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, berkembangnya auto-aktiviteit tercapilah apa yang di maksud dengan demokrasi, y.i. pemerintah yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutamamemperbaiki nasibnya.
pentingnya agenda demkratisasi dalam rangka otnomi daerah antara lain bertolak  dan asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa tidak semata-mata ditentukan bentuk neg ara (negara kesatuan dan negara fedaral), melainkan melalui sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara sehat dan  fair adanya akuntabilitas pemerintah an, tegaknya supremasi  kerakyatan. Kesemua itu jauh lebih penting dari “sekadar” bentuk negara.
9.      SYARI’AT ISLAM DAN OTONOMI DAERAH
Menurut Drs. Mukhlis Denros:
        Dengan menyebut “berkat rahmat Allah” kemerdekaan ini kita raih setelah sekian abad berada dalam cengkeraman pernjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, segala penderitaan kita rasakan, posisi bangsa ini di bawah keakuasaan bangsa lain nyaris disebut sebagai bangsa budak melayani tuan-tuan Barat yang kedatangan mereka kemari dengan tiga tujuan Gold, Glory dan Gosvel yaitu mencari harta kekayaan dari sumber alam Indonesia yang dapat dikatakan jamrud di katulistiwa, Glory adalah tujuan kedua yaitu mencari kejayaan bangsa mereka di bawah penderitaan bangsa lain, mereka berbahagia di bawah penderitaan bangsa kita. Selain itu tujuan besar yang mereka gelar kepada bangsa ini adalah penyebaran Gosvel yaitu Injil dengan segala doktrinnya.
       Walaupun kita merdeka yang diawali oleh rezim Soekarno, Soeharto, Habibi hingga Gusdur detik ini [2001], kita masih merasakan bagaimana bangsa ini terutama ummat Islam masih dijajah oleh rezim-rezim, dan siapa saja nampaknya yang berkuasa bersuara lantang untuk menentang kebijakan yang bernafaskan Islam, walaupun sebenarnya segala idiologi lain untuk membangun negara dan negeri ini dipakai dengan mengalami kegagalan.
        Setiap daerah lantang menyatakan siap memasuki otonomi daerah tanpa ragu sedikitpun. Sejumlah kewenangan berada di tangan penguasa di daerah yang sebagian pakar meramalkan bila Otoda ini diberlakkan akan hadir raja-raja kecil di daerah yang akan menambah panjangnya usia penderitaan rakyat, ambisi terhadap inipun tidak dilatarbelakangi oleh kesiapan SDM dan SDA daerah tersebut tapi impian akan mengalirnhya sekian miliar dana dari pusat disamping dapat mengelola segala aset daerah yang selama ini dikuasai pusat.
      Mayoritas bangsa ini beragama Islam. Kita sudah bosan dengan ucapan pesimis yang menyatakan, ”Kita bukan negara Islam, mana mungkin bisa menerapkan syariat Islam, apa yang diberikan falsafah Islam selama ini selain kesengsaraan yang dirasakan oleh masyarakat kecuali dikenyam oleh segelintir orang yang memang dekat dengan penguasa, masihkah kita akan bertahan dengan pendidikan sekuler yang hanya sebatas memberikan ilmu melalui fikir tanpa nilai-nilai kemanusiaan melalui zikir.
      Tidakkah kita lihat bagaimana budaya bangsa kita telah berkarakter primitif dan permisiv karena terkontaminasi oleh budaya Yahudi dan Nasrani, dalam beragamapun kita cendrung berwatak sekuler dan sinkritis yang menganggap semua agama adalah sama baik dan benarnya yang menimbulkan toleransi yang dipaksakan yang akibatnya nampak sekarang di Ambon, Maluku dan Halmahera. Demoralisasi tidak tanggung-tanggung menjajah kita dengan segala aktivitas menghilangkan eksistensi kita sebagai bangsa yang beradat dan berbudaya, sehingga di zaman sekarang ini sulit kita untuk menentukan mana orang-orang yang shaleh dengan yang thaleh, wajah-wajah munafiq yang bertebaran, hingga politik bisa diperankan sesuai dengan apa yang mau hati nurani manusia tidak akan bercorak Machiavelis yang menghalalkan segala cara yang penting kursi dan jabatan serta tujuan dapat dicapai.
        Inilah dahulu pengaruh falsafah yang kita anut dan kita ajarkan kepada generasi-generasi kita ajarkan kepada generasi-generasi kita hingga mendarah daging sehingga mereka tidak lagi kenal apa itu syariat Islam, undang-undang suci yang diperjuangkan oleh Rasulullah lima belas abad yang silam sehingga mampu membentuk sebuah negara yang aman dan penuh berkah Allah yaitu Madinah Al Munawarah.
       Ketika da’wah Islam bekembang ke negara-negara lain Rasul-pun memberikan sinyal kepada penguasa tersebut untuk masuk Islam dengan memberikan kewenangan untuk mengelola negaranya tanpa ikut campur Rasulullah dengan syarat menerapkan Syari’at Islam, mungkin inilah Otoda yang perlu diterapkan di era gencar-gencarnya kata ”Otoda” sering kita dengar, apalagi sudah jelas Bupati, Gubernur, Walikota dan masyarakatnya mayoritas Islam, apa yang ditunggu lagi selain kesempatan masing-masing daerah untuk bertekad menerapkan mengembalikan falsafah Minangkabau yang selama ini hanya sebatas filosofi, hiasan bibir dan Buya Hamka menyebut sebagai ”bahasa politis” antara kaum adat dengan kaum agama.
       Nampaknya inilah strategi pusat yang membatasi kewenangan daerah, tidak termasuk bidang agama, urusan agama tetap dipusat, inilah Otoda setengah hati, padahal sudah jelas mayoritas ummat ini menginginkan diterapkannya syariat Islam walaupun secara lokal atau regional setelah gagal ditetapkan dalam piagam Jakarta.
     Tidak perlu daerah di Sumatera Barat ini terlalu terburu-buru mencanangkan dan menggaungkan kesiapan mereka menerapkan Otoda bila hanya sama saja, ibarat tukar baju namun esensialnya tidak berbeda. Jangan otoda tersebut hanya sebatas perubahan struktur dan postur pemerintahan daerah saja dengan menerima sekian kewenangan dan impian dana, tapi moral dan perbaikan kepribadian rakyatnya tidak terbenahi dengan baik sebagaimana ucapan Muhammad Abduh, ”Saya telah pergi ke negara Eropa, disana ada Islam tapi tidak ada ummatnya, sayapun telah pergi ke Timur Tengah, disana ada ummat Islam tapi tidak ada Islam”, artinya di negara yang bukan Islam dapat menerapkan nilai-nilai Islam sementara di negara Islam yang mayoritas penduduknya muslim tidak mampu menerapkan syariat Islam.
      Bagi daerah yang telah mencanangkan siap berotonomi, ada peluang untuk menjadikan daerahnya sebagai negeri yang sering diucapkan oleh pejabat Orde Baru yaitu ”Baldatun thayiibatun Warabbun Ghafur” yang hanya sebatas hiasan bibir, jauh panggang dari api. Berkaitan dengan itu, kita membutuhkan kepala daerah yang punya nyali dan ghirah Islam yang tinggi agar semasa kemepimpinannya mampu menancapkan bingkai falsafah ABS-SBK [Adat Basabdi Syara’, Syara’ Basandi Kitabulah] walaupun secara bertahap melalui momentum”Kembali ke Nagari” lalu membuka peluang kepada nagari untuk menentukan sikapnya menerapkan Syariat Islam bersamaan pula dengan gaung kembali ke Surau.
       Sebenarnya bagi seorang muslim, bentuk negara ini apapun, ragam falsafah negara tidak jadi soal asal dapat menerapkan syariat Allah didalamnya, segala persoalan di dunia ini bagi muslim bukanlah persoalan, yang jadi masalah bagi kita adalah tidak masuk syurga karena peluang di daerah untuk menerapkan Syari’at Islam tidak tersampaikan, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 13032001].

10.  OTONOMI DAERAH DAN ISU GENDER
 -Otonomi Daerah Sebagai Kebijakan yang Menguatkan Budaya Lokal
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap perempuan.Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas, politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini ditandaidengan alokasi APBD lebih banyak untuk biaya pelaksanaan pemerintahan daerah daripada kesejahteraan masyarakat. Ketiga, partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim, keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan yang seharusnya sesuai dengan kuota 30 persen akhirnya menjadi turun signifikan, dan kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah di tingkat lokal jumlahnya nyaris tidak ada. Semakin menguatnya budaya yang sangat patriarkis setelah Otonomi Daerah berjalan merupakan salah satu andil semakin termarjinalkannya perempuan Indonesia.
Menyamakan persepsi mengenai pentingnya meletakkan budaya masyarakat sebagai basis sistem politik yang seniscayanya dibangun dan dikembangkan dalam implementasi daerah otonom. Dalam konteks ini, komunitas lokal yang memiliki kekhasan budaya itulah yang menjadi penentu segala bentuk kebijakan yang dikembangkan di setiap daerah otonom. Nilai-nilai budaya lokal yang beragam, dengan menghindari segala upaya uniformalisme dari (kebijakan) pemerintah pusat. Kemudian pada akhirnya akan menimbulkan efek bagi masyarakat daerah semakin merasa berada pada rumahnya sendiri untuk selanjutnya akan semakin mengakui eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pemerintah pusat akan mengembangkan pola manajemen Indonesia dengan sistem politik di daerah-daerah otonom yang beragam sehingga ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah akan terhindarkan setelah membuat adanya semacam kontrak sosial baru yang berangkat dari pengakuan atas nilai budaya lokal.
-Posisi Perempuan Era Otonomi Daerah
Apakah penerapan hukum syariat syariat Islam dalam otonomi daerah perlu dikhawatirkan? Agaknya kita haruslah berhati-hati menanggapinya, karena pertama, isu itu bisa sarat dengan muatan politis dari kelompok kepentingan politik tertentu. Kedua, belum jelas bagaimana konsep hubungan sosial baik intra komunitas Islam maupun antar komunitas lintas agama dan budaya. Ketiga, bila kembali kepada pengertian dasarnya yakni "jalan yang benar", maka sebenarnya hal itu takperlu dirisaukan. Hanya yang kemudian menjadi masalah adalah siapa yang menentukanakan  "jalan kebenaran"tersebut. Bila tafsir atas jalan kebenaran yang pada akhirnya akan diwujudkan dalamsuatu bentuk kebijakan yang berangkat dari kondisi budaya dan politik seperti digambarkan diatas, dapat diprediksi pada masa yang akan datang akan selalu terjadi bias pada dominasi laki-laki yang elitis.
Untuk menyikapi berbagai permasalahan di atas perempuan pada akhirnya harus menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam otonomi daerah saat ini. Sikapperempuan itu sendiriakan sangat menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika yang memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan HAM secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinanyang paling besar peluangnya akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya masih sangat jauh dari sentuhan langsung penyadaran hak asasi manusia, hal yang paling mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut merupakan produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk (rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
Terdapat beberapa hal  yang perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal haruslah melibatkan semua elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena itu,aspirasi perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan suatu kebijakan.
-Partisipasi perempuan pada Tingkat Lokal
 Rumusan tentang partisipasi perempuan dalam politik lokal yang dimaksud di sini adalah rumusan Perda-Perda yang menjamin bahwa perempuan pun dapat duduk dalam lembaga politik formal sehingga perempuan pun dapat merumuskan kebijakan yang menguntungkan bagi perempuan itu sendiri. Rumusan tentang perempuan dalam kebijakan publik lokal yang dimaksud di sini adalah rumusan Perda yang mengatur aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan perempuan dalam wilayah publik.
Komposisi gender pada anggota legislatif juga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk melihat dan membandingkan peluang partisipasi politik kedua gender melalui pemilihan umum. Definisi partisipasi politik warga negara merupakan topik yang dibahas secara luas dalam teori-teori politik feminis. Ruth Lister (2003) merangkum berbagai gagasan para sarjana feminis mengenai peran warga negara, terutama hak dan kewajiban warga negara dalam kaitannya dengan partisipasi politik. Seperti juga di Indonesia, perempuan dianggap sebagai warga negara, tanpa pembedaan yang tersurat dalam hak dan kewajiban dengan warga negara laki-laki. Akan tetapi yang penting adalah untuk membedakan antara peran aktif dan peran pasif sebagai warga negara.
Lister menyitir Mary Dietz yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah terminologi yang menjadi lawan peran pasif warga negara sebagai ‘pemilik hak’.Partisipasi politik berarti secara aktif melakukan sesuatu dalam kaitan dengan kewajiban sebagai warga negara, yakni mempengaruhi kebijakan publik. Lister mengutip Diemut Bubeck yang menyarankan bahwa kerja domestik dan pengasuhan seharusnya juga menjadi kewajiban warga negara, sehingga beban kerja ini tidak hanya diletakkan pada pundak perempuan dan menghalangi perempuan memiliki ruang kemungkinan yang lebih luas untuk bergerak, tanpa dihalangi kewajiban kultural sebagai pengurus ranah domestik yang dibebankan kepadanya. Meskipun pemerintah di beberapa daerah menyebutkan permasalahan gender sebagai salah satu agenda yang harus dijalankan, namun tidak ditemukan rumusan partisipasi perempuan dalam politik lokal yang eksplisit dalam teks peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal sangat sedikit. Masalah ini bukanlah khas pemerintahan daerah karena kita bisa melihat bahwa jumlah perempuan dalam lembaga politik di tingkat nasional pun sangat sedikit. Jika hal ini tidak dirumuskan, maka identifikasi masalah yang telah dilakukan pemerintah daerah berhenti sampai taraf menimbang peraturan perundang-undangan tentang pengarusutamaan gender.
Pengaruh utama gender tidak mungkin dilakukan tanpa mengenali permasalahan perempuan setempat dan lebih penting lagi, mendengarkan suara perempuan. Pengambilan keputusan mensyaratkan adanya pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai permasalahan perempuan, dan akan sangat berguna jika melibatkan perempuan. Kesenjangan tersebut terlihat bahwa perempuan sangat sedikit sekali yang menduduki jabatan-jabatan formal struktural di pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam lembaga politik formal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah perempuan Indonesia sebanyak 51% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. 
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem politik yang ada. Keterbatasan keterlibatan perempuandi ruang publik juga menjadi kendalauntuk mengembangkan organisasi perempuan untuk memformulasikan kepentingan perempuan. Karenanya harus ada ruang untuk kemungkinan berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem partisipasinya yang memungkinkan hal-hal yang berada di luar maskulinitas bisa diperhatikan. Luce Irigaray (1985, h. 84) dalam pembahasannya tentang sistem bahasa menyatakan bahwa perempuan mendapat kesulitan untuk mengartikulasikan pandangan kepada laki-laki maupun sesama perempuan karena tidak menemukan cara ekspresi yang sesuai dalam tatanan maskulin yang tersedia dalam bahasa.
Bahasa dalam pembahasan Irigaray mewakili sebuah strukturyang memungkinkan benda-benda dinamai, kepentingan dikemukakan dan dipahami untuk kemudian ditanggapi. Tatanan maskulin ini tidak perlu dihancurkan mengikuti logika ‘penumbangan kekuasaan’maskulin karena jika demikian akan ada struktur baru yang akan menjadi tiran baru. Persoalan pengarus-utamaan gender sebenarnya adalah masalah membuka ruang kemungkinan dalam bahasa perencanaan dan penerapan pembangunan yang semula maskulin, untuk mengakomodir bahasa feminin. Akomodasi ini tentunya akan menjadi tantangan bagi asumsi-asumsi yang berlaku dalambahasa maskulin, misalnya representasi perempuan yang pada tatanan maskulin dilekatkan pada sekitar ranah domestik yang belum diakui sebagai ranah produktif. Jika representasi perempuan didefinisikan dalam bahasa feminin, akan terbuka berbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak disadari mengenai peran perempuan sebagai pekerja dan bagaimana cara mengapresiasi kerja yangdilakukan di ranah domestik.
Rumusan partisipasi politik perempuan yang tidak tertera dalam peraturan daerah tidak serta mertaberarti bahwa perempuan tidak memiliki akses untuk berpartisipasi dalam politik.Terdapatbeberapa peraturan yang dibuat dengan intensi netral gender dan memberi ruang bagi perempua nuntuk berpartisipasi aktif dalam politik lokal seperti Surat Keputusan (S.K.) Walikota Sukabumi No.133 Tahun 2001 Tahun Anggaran 2001 dan S.K. Walikota Sukabumi No. 205 Tahun 2001 tentang Alokasi Dana Pembangunan Kelurahan dan Pembentukan Tim Pembina dan Pengendali Dana Pembangunan Kelurahan Kota Sukabumi Tahun Anggaran 2001, Perda No. 5 Tahun 2001(Tasikmalaya), Perda No. 3 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2002 (Bali), Perda No.Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah – 927 Tahun 2001 (Mataram).
Ruang untuk partisipasi politik perempuan yang dimungkinkan melalui jenis peraturan seperti ini harus terus menerus dinegosiasikan antara perempuan dan para pemangku kepentingan lainnya. Negosiasi untuk memperoleh ruang partisipasi yang lebih luas menuntut peranperempuan yang aktif dan terorganisir sehingga mampu menghasilkan perbedaan dalam tata pemerintahan.Tanpa peran aktif dan organisasi yang inklusif, perempuan hanya akan menjadi aktor karena jenis kelaminnya, tapi membuat kebijakan yang tidak menguntungkan perempuan. Tuntutan perempuanuntuk terlibat dalam pengambilan keputusan tidak berhenti pada jumlah perempuan yang masuk dalam struktur politik, tapi juga pada visi dan agenda mereka untuk memperbaiki kondisi perempuan.
BAB III
PENUTUP
   Kesimpulan
          Otonomi daerah berarti  kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut,maka daerah dapat di katakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa ada tekanan dari luar (external intervention).
        Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja :
g)      Politik luar negeri
h)      Pertahanan
i)        Keamanan
j)        Yustisi
k)      Moneter dan fiscal nasional, dan
l)        Agama.

Daftar pustaka
Winarno, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan panduan kuliah di perguruan tinggi-2014
            Jakarta: BumI  Aksara
Djoiz bijaksono suparno, pendidkan kewarganegaraan-2006
            Yogyakarta: Mataram university press
Ruslinawati ,pendidikan kewarganegaraan-2009
            Jakarta: Rajawali cilik
Samidi –w. vidyaningtyas, belajar memahami kewarganegaraan-2012
            Jakarta :tiga serangkai pustaka mandiri
Azra azyumardi, kewarganegaraan(civic education): demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat madani-2000
            Jakarta :I  CCE UIN syarif hidayatullah
http://akhmadsatori.blogspot.co.id/2012/04/otonomi-daerah-dalam-perspektif-gender.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar