MAKALAH OTONOMI DAERAH
DISUSUN OLEH
KELOMPOK VI:
1. NURLAELA
(160103096)
2. ROKYATUL
AENI (160103098)
3. ANA
FAIZATI (160103091)
TADRIS
MATEMATIKA
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah
swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang otonomi daerah. Dan tidak lupa
pula kami haturkan shalawat dan salam atas junjungan baginda nabi besar
Muhammad saw yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar.
Kami berterima kasih kepada bapak
Dr.M.Saleh Ending selaku dosen mata kuliah pancasila dan kewarganegaraan IAIN
MATARAM, yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai otonomi daerah. Dan kami juga menyadari bahwa di dalam makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
yang bisa membantu kami dalam menyusun makalah yang lain. Mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat di
pahami dan bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia
selalu di tandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang
menggantikan produk sebelumnya .Perubahan tersebut pada satu sisi menadai
dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi
disisi lain hal ini dapat pula di pahami sebagai bagian dari “eksperimen
politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah
Indonesia pasca UU Nomor 22 tahin 1984 diisi dengan munculnya beberapa UU
tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 ( sebagian pengaturan
tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia ), UU Nomor 18
tahun 1965 ( yang menganut system otonomi yang seluas-luasnya), UU Nomor 5
tahun 1974.
2. Rumusan
masalah
k) Arti
otonomi daerah.
l)
Arti penting otonomi desentralisasi.
m) Visi
otonomi daerah.
n) Model
desentralisasi.
o) Sejarah
otonomi daerah di Indoneia.
p) Prinsip-prinsip
otonomi daerah dalam UU OTDA.
q) Pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah dalam UU No.22 tahun 1999.
r) Otonomi
daerah dan demokrasi.
s) Syari’at
islam dan otonomi daerah.
t) Otonomi
daerah dan isu gender.
3. Tujuan
penulisan
Tujuan utama
penulisan makalah ini, yaitu agar pembaca dapat memahami arti dari otonomi
daerah dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari guna untuk
mewujudkan daerah yang aman dan tentram.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. ARTI
OTONOMI DAERAH
Otonomi
dalam makna sempit di artikan sebagai ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang
lebih luas di artikan sebagai ‘berdaya’.Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut,maka daerah dapat di katakan
sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa ada tekanan dari
luar (external intervention). Otonomi daerah dapat di artikan sebagai
hak,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2. ARTI
PENTING OTONOMI DESENTRALISASI
Memasuki abad ke-21, Indonesia
tampaknya harus berangkat dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Krisis
ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah
memporak-porandakan hamper seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini
yang telah di bangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik
yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan
kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut
salah satunya diakibatkan oleh system menejemen negara dan pemerintahan yang
sentralistik, dimana kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak
memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah
di landasi dengan argumentasi yang kuat baik secara teoritik maupun empiric.
Kalangan teoritis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang
menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat di pertanggungjawabkan baik
secara empiric ataupun normative-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam
memilih desentralisasi-otonomi, yaitu:
1.
Untuk
terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintah.
Pemerintah berfungsi mengelola
berbagai dimensi kehidupan seperti bidang social, kesejahteraan masyarakat,
ekonomi, keuangan, politik, integrasi social, pertahanan, keamanan dalam
negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif atas hhal yang telah
di ungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa
ataupu yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan
fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2.
Sebagai
sarana pendidikan politik.
John stuart mill dalam tulisannya
“Representative Government” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan
menyediakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam
rangka memilih atau kemungkinan untuk di pilih dalam suatu jabatan politik.
Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional dan
memiloh pemimpin nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam
politik local, baik dalam pemilihan umum local ataupun dalam rangka pembuatan
kebijakan publuk.
3.
Pemerintahan
daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuan politik
sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier
lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat
nasional.
4.
Stabilitas
politik.
Sharpe berargumentasi bahwa
stabilitas politik nesional mestinya berawal dari stabilitas politik pada
tingkat local. Terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan
puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat
kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5.
Kesetaraan
politik.
Dengan di bentuknya pemerintahan
daerah maka kesetaraan politik diantara berbagai komponen masyarakat akan
terwujud. Masyarakat di tingkat local, sebagaimana halnya masyarakat di pusat
pemerintahan, akan mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah
itu dengan melalui pemberian suara pada waktu pemilihan kepala desa, bupati,
wali kota, dan bahkan gubernur. Di samping itu warga masyarakat baik secara
sendiri-sendiri ataupun secarra berkelompok akat ikut terlibat dalam
mempengaruhi pemerinyahannyya untuk membuat kebijakan, terutama yang
menyangkut kepentingan mereka.
6.
Akuntabilitas
public.
Demokrasi memberikan ruang dan
peluang kepada masyarakat, termassuk daerah, untuk berpartisipasi dalam segala
bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat di mungkinkan
sejak dari awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan dengan evaluasi.
Dengan demikian, maka keputusan yang di buat dapat di awasi secara langsung dan
dapat di pertanggungjawabkan karena masyarakkat terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
3. VISI
OTONOMI DAERAH
Visi desentralisasi merupakan symbol
adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada kepada daerah. Visi
otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang
utama, yaitu:
a. Di
bidang politik
Otonomi
adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus di
pahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala
pemerintahan daerah yang di pilih secara demokratis, memungkinkan
berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan
masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat
pada asas pertanggungjawaban public.
b. Di
bidang ekonomi
Otonomi
daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi
nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluan bagi pemerintah
daerah mengembangkan kebijakan regional
dan local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya.
Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa
pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses
perizinan usaha, dan membangu berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran
ekonomi di daerah. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
c. Di
bidang social dan budaya
Di
dalam bidang social ddan budaya, otonomi daerah harus di kelola sebaik mungkin
demi menciptakan memelihara harmoni social, dan pada saat yang sama, memelihara
nilai-nilai local yang di pandang kondusif dalam menciptakan kemampuan
masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
4. MODEL
DESENTRALISASI
Rondinelli membedakan desentralisasi menjadi
4 bentuk:
1. Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk
dekonsentrasi menurut rondinelli, pada hakikatnya hanya merupakan pembagian
kewenangan dan tanggung jawwab administrative antara departemen pusat dengan
pejabat pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi itu hanya berupa pergeseran
volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah,
tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan
untuk membuat keputusan. Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe
dekonsentrasi, yaiu administrasi lapangan dan administrasi local. Dalam tipe
administrasi lapangan, pejabat lapangan di beri keleluasaan untuk mengambil
keputusan seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan
menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.
2. Delegasi
Delegation
to semi autonomous sebagai bentuk kedua yang disebutkan
oleh Rondinelli adalah pelimpahan
pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas
khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah
pengawasan pemerintah pusat.Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya di
berikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung
jawabnya.Bahkan kadang-kadang berada di luar ketentuan yang di atur oleh
pemerintah pusat, karena bersifat lebih komersial dan mengutamakan ofisiensi
dari pada prosedur birokratis dan politis.
Berbeda dengan dekonsentrasi, isu
sentral baik delegasi maupun devolusi berkaitan dengan upaya untuk
menyeimbangkan kepentingan daerah dan pusat. Delegasi menurut Litvack merujuk
pada sebuah situasi di mana pemerintah pusat mentransfer tanggung jawab kepada
(responsibility)pengambilan keputusan
dan fungsi administrasi public kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi
semi ekonomi yang seoenuhnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat akan
tetapi pada akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya. Bentuk desentralisasi semacam ini dapat
dicirikan sebagai hubungan prisipilagen (principal-agent-relationship)
di mana pemerintah pusat sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agen.
3. Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah
pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah diluar pemerintah pusat dengan
menyerahkan sebagian fungsi-fungsitertentu kepada unit-unit untuk dilaksanakan
secara mandiri .bentuk devolusi mempunyai lima karekteristik :
1. Unit
pemerintah local bersifat otonom, madiri, dan secara tegas berpisah dari
tingkat-tingkat pemeritah. Pemerintah pusat tudak melakukan pengawasan langsung
terhadapnya.
2. unit
pemerintahan local diakui mempunyai batas-batas wilayah yang jelas dan legal,
yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan.
3. unit
pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwenang untuk mengelola
dan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya,
4. pemerintahan
daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu,
pemerintah daerah semacam ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan di hadapan
warganya.
5. terdapat
hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu system
pemerintahan.
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi
yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat
mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputas, keuangan dan menejemenkepada
unit otonomi pemerintah daerah.Dalam pandangan Rondinelli devolusi merupakan
upaya untuk memperkuat pemerintah daerah secara legal yang secara substansil
kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali langsung pemerintah pusat.
Menurut Mawhood sebagaimana dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang
mekat pada devolusi yaitu
1. Adanya
sebuah badan local yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat
dan bertanggung jawab pada pelayanan local yang signifikan .
2. Pemerintah
daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan
otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
3. Harus
mengembangkan komfetensi staf.
4. Anggota
dewan yang terpilih yang beroperasi pada
garis partai harus menentukan kebijakan dan prosedur internal.
5.
Pejabat pemerintah pusat harus
melayani sebagai penasehat dan evaluator luar (external advisors & evaluators)
4. Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi
menurut Rondinelli adalah privasi (transfer
of functions from government to non governmrnt institutions) Pripatisasi
adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan
sudan sukakarela, swasta, dan swadya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan
peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan BUMD
dilebur menjadi PT. Dalam beberapa misalnya pemerinan mentransfer beberapa
kegiatan kepada kamar dagang dan industry, koperasi dan asosiasi lainnyauntuk
mengeluarkan izin-izin, bimbingan da pengawasan, yang semula di lakukan oleh
pemerintah. Dalam hal kegiatan social, pemerintah memberikan kewenangan dan
tanggung jawab kepada lembaga swadya masyarakat (LSM) dalam hal seperti
pembinaan kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan social, termasuk melatih dan meningkatkan peran
serta dan pemberdayaan masyarakat.
5. SEJARAH
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Undang-Undang
ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan masyarakat melalui pengaturan
pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini
ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan
kota. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintah daerah yang demokratis. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah
telah mendapat perhatian pemerintah.Pemberian otonom kepada daerah berdasarkan
undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut
pengaturannya melalui peraturan pemerintah tentang penyerahan sebagian usrusan
pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan
sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu di tandai dengan lahirnya suatu
produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya .Perubahan
tersebut pada satu sisi menadai dinamika orientasi pembangunan daerah di
Indonesia dari masa ke masa. Tapi disisi lain hal ini dapat pula di pahami
sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahin 1984
diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1
tahun 1957 ( sebagian pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk
seluruh Indonesia ), UU Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut system otonomi yang
seluas-luasnya), UU Nomor 5 tahun 1974.
UU
yang di sebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.Prinsip yang di pakai dalam pemberian
otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi
“otonomi yang nyata dar bertanggung jawab”.Alasannya pandangan otonomi daerah
yang seluas-luasnya dapat menumbulkan kecendrungan pemikiran yang dapat
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan
prinsip-prinsip yang di gariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan
dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan
baru di ganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor
25 tahun1999 setelah tuntutan reformasi dikomandangkan.
Kehadiran
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak
berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara Satu hal yang paling menonjol dan pergantian Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan
mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi.
Perubahan
tersebut dapat di amati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal
demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam
kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999)
secara teoritis menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam undang-undang
nomor 25 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasisedangkan dekonsentrasi dalam Undang-undang nomor 22
tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi.
Hal ini akan lebih nyata jika di kaitkan dengan kedudukan kepala daera.
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus
kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah.Dalam praktik
penyelenggaraan pemerintah di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai
kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan di
banding sebagai kepala daerah.Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan
kepada DPRD sebagai representasi dan rakyat di daerah yang memilihnya.
Momentum
otonmi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tepatnya setelah MPR RI
melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahana kedua yang secara
tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonimi
dan desentralisasi kekuasaan politik.
6. PRINSIP-PRINSIP
OTONOMI DAERAH DALAM UU OTDA
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah
yang di jadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana
terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999, yaitu:
1. Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan
otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuuh di letakkan pada daerah kabupaten dan daerah
kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi daerah administrasi.
7. PEMBAGIAN KEKUASAAN
ANTARA PUSAT DAN DAERAH
DALAM UU NO.22
TAHUN 1999
Pembagian kekuasan antara pusat
daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat
federalisme.jenis kekuasaan yang di tangani pusat hampir sama dengan yang di
tangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan
dan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang
memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti
kebijaksanaan makro ekonmi, stndarisasi nasional, administrasi pemerintah,
badan usaha milik negara,dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis
kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat di sebutkan secara sfesifik dalam UU
tersebut.
Terdapat 11 jenis
kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah
Otonom Kota, yaitu:
1.
Pertahanan,
2.
Pertanian
3.
Pendidikan dan kebudayaan
4.
Tenaga kerja
5.
Kesehatan
6.
Lingkungan hidup
7.
Pekerjaan umum
8.
Perhubungan
9.
Perdagangan dan industri
10.
Penanaman mdal, dan
11.
Koperasi
Pemerintah pusat hanya
menangani 6 urusan saja :
a) Politik
luar negeri
b) Pertahanan
c) Keamanan
d) Yustisi
e) Moneter
dan fiscal nasional, dan
f) Agama.
8.OTONOMI DAERAH
DAN DEMOKRASI
Ekstensi kebijakan
ekonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai sebagian dari agenda
demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan
kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh di pandang sebagai a final des tination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam
menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya dapat
dimengerti apabila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijakan
otonmi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local responsovenessr. Diantara prasyarat yang harus dipenuhi untuk
mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah harus memiliki teral readeritorial
kekuasaan yang jelas (local own income);
memiliki badan perwakilan (local
refresentative body) yang mampu mengontrol eksekutipdaerah; dan adanya
kepala daerah yang pilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election)
Dengan rumusan dan
tujuan ekonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan ekonomi daerah akan
mampu menciptakan sistem pemerintah yang demokratis. Argumen dasarnya adalah,
dengan konsep tersebut diasumsikan masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol
penyelenggaraan pemerintah didaerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah
daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang
dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda demkratisasi merupakan sesuatu yang
tidak boleh diabaikan dalam pelaksanakan otonomi daerah apabila keadilan dan
kesejahteraan yang lebih bagi masyarakat daerah menjadi target pencapaian.
Keterkaitan otnomi
daerah dengan demokratisasi pernah di ungkapkan oleh Mohammad Hatta,
proklamator RI, dalam suatu kesempatan.
...memberikan
otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorng berkembangnya
auto-aktiviteit.auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, berkembangnya
auto-aktiviteit tercapilah apa yang di maksud dengan demokrasi, y.i. pemerintah
yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutamamemperbaiki nasibnya.
pentingnya agenda
demkratisasi dalam rangka otnomi daerah antara lain bertolak dan asumsi bahwa cita-cita demokrasi,
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa tidak semata-mata
ditentukan bentuk neg ara (negara
kesatuan dan negara fedaral), melainkan melalui sistem politik yang menjamin
berlakunya mekanisme check and balance, distribusi
kekuasaan secara sehat dan fair adanya akuntabilitas pemerintah an, tegaknya supremasi kerakyatan. Kesemua itu jauh lebih penting
dari “sekadar” bentuk negara.
9.
SYARI’AT ISLAM DAN OTONOMI DAERAH
Menurut Drs. Mukhlis Denros:
Dengan menyebut “berkat rahmat Allah” kemerdekaan ini kita raih setelah sekian abad berada dalam cengkeraman pernjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, segala penderitaan kita rasakan, posisi bangsa ini di bawah keakuasaan bangsa lain nyaris disebut sebagai bangsa budak melayani tuan-tuan Barat yang kedatangan mereka kemari dengan tiga tujuan Gold, Glory dan Gosvel yaitu mencari harta kekayaan dari sumber alam Indonesia yang dapat dikatakan jamrud di katulistiwa, Glory adalah tujuan kedua yaitu mencari kejayaan bangsa mereka di bawah penderitaan bangsa lain, mereka berbahagia di bawah penderitaan bangsa kita. Selain itu tujuan besar yang mereka gelar kepada bangsa ini adalah penyebaran Gosvel yaitu Injil dengan segala doktrinnya.
Walaupun kita merdeka yang diawali oleh rezim Soekarno, Soeharto, Habibi hingga Gusdur detik ini [2001], kita masih merasakan bagaimana bangsa ini terutama ummat Islam masih dijajah oleh rezim-rezim, dan siapa saja nampaknya yang berkuasa bersuara lantang untuk menentang kebijakan yang bernafaskan Islam, walaupun sebenarnya segala idiologi lain untuk membangun negara dan negeri ini dipakai dengan mengalami kegagalan.
Setiap daerah lantang menyatakan siap memasuki otonomi daerah tanpa ragu sedikitpun. Sejumlah kewenangan berada di tangan penguasa di daerah yang sebagian pakar meramalkan bila Otoda ini diberlakkan akan hadir raja-raja kecil di daerah yang akan menambah panjangnya usia penderitaan rakyat, ambisi terhadap inipun tidak dilatarbelakangi oleh kesiapan SDM dan SDA daerah tersebut tapi impian akan mengalirnhya sekian miliar dana dari pusat disamping dapat mengelola segala aset daerah yang selama ini dikuasai pusat.
Mayoritas bangsa ini beragama Islam. Kita sudah bosan dengan ucapan pesimis yang menyatakan, ”Kita bukan negara Islam, mana mungkin bisa menerapkan syariat Islam, apa yang diberikan falsafah Islam selama ini selain kesengsaraan yang dirasakan oleh masyarakat kecuali dikenyam oleh segelintir orang yang memang dekat dengan penguasa, masihkah kita akan bertahan dengan pendidikan sekuler yang hanya sebatas memberikan ilmu melalui fikir tanpa nilai-nilai kemanusiaan melalui zikir.
Tidakkah kita lihat bagaimana budaya bangsa kita telah berkarakter primitif dan permisiv karena terkontaminasi oleh budaya Yahudi dan Nasrani, dalam beragamapun kita cendrung berwatak sekuler dan sinkritis yang menganggap semua agama adalah sama baik dan benarnya yang menimbulkan toleransi yang dipaksakan yang akibatnya nampak sekarang di Ambon, Maluku dan Halmahera. Demoralisasi tidak tanggung-tanggung menjajah kita dengan segala aktivitas menghilangkan eksistensi kita sebagai bangsa yang beradat dan berbudaya, sehingga di zaman sekarang ini sulit kita untuk menentukan mana orang-orang yang shaleh dengan yang thaleh, wajah-wajah munafiq yang bertebaran, hingga politik bisa diperankan sesuai dengan apa yang mau hati nurani manusia tidak akan bercorak Machiavelis yang menghalalkan segala cara yang penting kursi dan jabatan serta tujuan dapat dicapai.
Inilah dahulu pengaruh falsafah yang kita anut dan kita ajarkan kepada generasi-generasi kita ajarkan kepada generasi-generasi kita hingga mendarah daging sehingga mereka tidak lagi kenal apa itu syariat Islam, undang-undang suci yang diperjuangkan oleh Rasulullah lima belas abad yang silam sehingga mampu membentuk sebuah negara yang aman dan penuh berkah Allah yaitu Madinah Al Munawarah.
Ketika da’wah Islam bekembang ke negara-negara lain Rasul-pun memberikan sinyal kepada penguasa tersebut untuk masuk Islam dengan memberikan kewenangan untuk mengelola negaranya tanpa ikut campur Rasulullah dengan syarat menerapkan Syari’at Islam, mungkin inilah Otoda yang perlu diterapkan di era gencar-gencarnya kata ”Otoda” sering kita dengar, apalagi sudah jelas Bupati, Gubernur, Walikota dan masyarakatnya mayoritas Islam, apa yang ditunggu lagi selain kesempatan masing-masing daerah untuk bertekad menerapkan mengembalikan falsafah Minangkabau yang selama ini hanya sebatas filosofi, hiasan bibir dan Buya Hamka menyebut sebagai ”bahasa politis” antara kaum adat dengan kaum agama.
Dengan menyebut “berkat rahmat Allah” kemerdekaan ini kita raih setelah sekian abad berada dalam cengkeraman pernjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, segala penderitaan kita rasakan, posisi bangsa ini di bawah keakuasaan bangsa lain nyaris disebut sebagai bangsa budak melayani tuan-tuan Barat yang kedatangan mereka kemari dengan tiga tujuan Gold, Glory dan Gosvel yaitu mencari harta kekayaan dari sumber alam Indonesia yang dapat dikatakan jamrud di katulistiwa, Glory adalah tujuan kedua yaitu mencari kejayaan bangsa mereka di bawah penderitaan bangsa lain, mereka berbahagia di bawah penderitaan bangsa kita. Selain itu tujuan besar yang mereka gelar kepada bangsa ini adalah penyebaran Gosvel yaitu Injil dengan segala doktrinnya.
Walaupun kita merdeka yang diawali oleh rezim Soekarno, Soeharto, Habibi hingga Gusdur detik ini [2001], kita masih merasakan bagaimana bangsa ini terutama ummat Islam masih dijajah oleh rezim-rezim, dan siapa saja nampaknya yang berkuasa bersuara lantang untuk menentang kebijakan yang bernafaskan Islam, walaupun sebenarnya segala idiologi lain untuk membangun negara dan negeri ini dipakai dengan mengalami kegagalan.
Setiap daerah lantang menyatakan siap memasuki otonomi daerah tanpa ragu sedikitpun. Sejumlah kewenangan berada di tangan penguasa di daerah yang sebagian pakar meramalkan bila Otoda ini diberlakkan akan hadir raja-raja kecil di daerah yang akan menambah panjangnya usia penderitaan rakyat, ambisi terhadap inipun tidak dilatarbelakangi oleh kesiapan SDM dan SDA daerah tersebut tapi impian akan mengalirnhya sekian miliar dana dari pusat disamping dapat mengelola segala aset daerah yang selama ini dikuasai pusat.
Mayoritas bangsa ini beragama Islam. Kita sudah bosan dengan ucapan pesimis yang menyatakan, ”Kita bukan negara Islam, mana mungkin bisa menerapkan syariat Islam, apa yang diberikan falsafah Islam selama ini selain kesengsaraan yang dirasakan oleh masyarakat kecuali dikenyam oleh segelintir orang yang memang dekat dengan penguasa, masihkah kita akan bertahan dengan pendidikan sekuler yang hanya sebatas memberikan ilmu melalui fikir tanpa nilai-nilai kemanusiaan melalui zikir.
Tidakkah kita lihat bagaimana budaya bangsa kita telah berkarakter primitif dan permisiv karena terkontaminasi oleh budaya Yahudi dan Nasrani, dalam beragamapun kita cendrung berwatak sekuler dan sinkritis yang menganggap semua agama adalah sama baik dan benarnya yang menimbulkan toleransi yang dipaksakan yang akibatnya nampak sekarang di Ambon, Maluku dan Halmahera. Demoralisasi tidak tanggung-tanggung menjajah kita dengan segala aktivitas menghilangkan eksistensi kita sebagai bangsa yang beradat dan berbudaya, sehingga di zaman sekarang ini sulit kita untuk menentukan mana orang-orang yang shaleh dengan yang thaleh, wajah-wajah munafiq yang bertebaran, hingga politik bisa diperankan sesuai dengan apa yang mau hati nurani manusia tidak akan bercorak Machiavelis yang menghalalkan segala cara yang penting kursi dan jabatan serta tujuan dapat dicapai.
Inilah dahulu pengaruh falsafah yang kita anut dan kita ajarkan kepada generasi-generasi kita ajarkan kepada generasi-generasi kita hingga mendarah daging sehingga mereka tidak lagi kenal apa itu syariat Islam, undang-undang suci yang diperjuangkan oleh Rasulullah lima belas abad yang silam sehingga mampu membentuk sebuah negara yang aman dan penuh berkah Allah yaitu Madinah Al Munawarah.
Ketika da’wah Islam bekembang ke negara-negara lain Rasul-pun memberikan sinyal kepada penguasa tersebut untuk masuk Islam dengan memberikan kewenangan untuk mengelola negaranya tanpa ikut campur Rasulullah dengan syarat menerapkan Syari’at Islam, mungkin inilah Otoda yang perlu diterapkan di era gencar-gencarnya kata ”Otoda” sering kita dengar, apalagi sudah jelas Bupati, Gubernur, Walikota dan masyarakatnya mayoritas Islam, apa yang ditunggu lagi selain kesempatan masing-masing daerah untuk bertekad menerapkan mengembalikan falsafah Minangkabau yang selama ini hanya sebatas filosofi, hiasan bibir dan Buya Hamka menyebut sebagai ”bahasa politis” antara kaum adat dengan kaum agama.
Nampaknya inilah strategi pusat yang
membatasi kewenangan daerah, tidak termasuk bidang agama, urusan agama tetap
dipusat, inilah Otoda setengah hati, padahal sudah jelas mayoritas ummat ini
menginginkan diterapkannya syariat Islam walaupun secara lokal atau regional
setelah gagal ditetapkan dalam piagam Jakarta.
Tidak perlu daerah di Sumatera Barat ini terlalu terburu-buru mencanangkan dan menggaungkan kesiapan mereka menerapkan Otoda bila hanya sama saja, ibarat tukar baju namun esensialnya tidak berbeda. Jangan otoda tersebut hanya sebatas perubahan struktur dan postur pemerintahan daerah saja dengan menerima sekian kewenangan dan impian dana, tapi moral dan perbaikan kepribadian rakyatnya tidak terbenahi dengan baik sebagaimana ucapan Muhammad Abduh, ”Saya telah pergi ke negara Eropa, disana ada Islam tapi tidak ada ummatnya, sayapun telah pergi ke Timur Tengah, disana ada ummat Islam tapi tidak ada Islam”, artinya di negara yang bukan Islam dapat menerapkan nilai-nilai Islam sementara di negara Islam yang mayoritas penduduknya muslim tidak mampu menerapkan syariat Islam.
Bagi daerah yang telah mencanangkan siap berotonomi, ada peluang untuk menjadikan daerahnya sebagai negeri yang sering diucapkan oleh pejabat Orde Baru yaitu ”Baldatun thayiibatun Warabbun Ghafur” yang hanya sebatas hiasan bibir, jauh panggang dari api. Berkaitan dengan itu, kita membutuhkan kepala daerah yang punya nyali dan ghirah Islam yang tinggi agar semasa kemepimpinannya mampu menancapkan bingkai falsafah ABS-SBK [Adat Basabdi Syara’, Syara’ Basandi Kitabulah] walaupun secara bertahap melalui momentum”Kembali ke Nagari” lalu membuka peluang kepada nagari untuk menentukan sikapnya menerapkan Syariat Islam bersamaan pula dengan gaung kembali ke Surau.
Sebenarnya bagi seorang muslim, bentuk negara ini apapun, ragam falsafah negara tidak jadi soal asal dapat menerapkan syariat Allah didalamnya, segala persoalan di dunia ini bagi muslim bukanlah persoalan, yang jadi masalah bagi kita adalah tidak masuk syurga karena peluang di daerah untuk menerapkan Syari’at Islam tidak tersampaikan, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 13032001].
Tidak perlu daerah di Sumatera Barat ini terlalu terburu-buru mencanangkan dan menggaungkan kesiapan mereka menerapkan Otoda bila hanya sama saja, ibarat tukar baju namun esensialnya tidak berbeda. Jangan otoda tersebut hanya sebatas perubahan struktur dan postur pemerintahan daerah saja dengan menerima sekian kewenangan dan impian dana, tapi moral dan perbaikan kepribadian rakyatnya tidak terbenahi dengan baik sebagaimana ucapan Muhammad Abduh, ”Saya telah pergi ke negara Eropa, disana ada Islam tapi tidak ada ummatnya, sayapun telah pergi ke Timur Tengah, disana ada ummat Islam tapi tidak ada Islam”, artinya di negara yang bukan Islam dapat menerapkan nilai-nilai Islam sementara di negara Islam yang mayoritas penduduknya muslim tidak mampu menerapkan syariat Islam.
Bagi daerah yang telah mencanangkan siap berotonomi, ada peluang untuk menjadikan daerahnya sebagai negeri yang sering diucapkan oleh pejabat Orde Baru yaitu ”Baldatun thayiibatun Warabbun Ghafur” yang hanya sebatas hiasan bibir, jauh panggang dari api. Berkaitan dengan itu, kita membutuhkan kepala daerah yang punya nyali dan ghirah Islam yang tinggi agar semasa kemepimpinannya mampu menancapkan bingkai falsafah ABS-SBK [Adat Basabdi Syara’, Syara’ Basandi Kitabulah] walaupun secara bertahap melalui momentum”Kembali ke Nagari” lalu membuka peluang kepada nagari untuk menentukan sikapnya menerapkan Syariat Islam bersamaan pula dengan gaung kembali ke Surau.
Sebenarnya bagi seorang muslim, bentuk negara ini apapun, ragam falsafah negara tidak jadi soal asal dapat menerapkan syariat Allah didalamnya, segala persoalan di dunia ini bagi muslim bukanlah persoalan, yang jadi masalah bagi kita adalah tidak masuk syurga karena peluang di daerah untuk menerapkan Syari’at Islam tidak tersampaikan, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 13032001].
10.
OTONOMI DAERAH DAN ISU GENDER
-Otonomi Daerah Sebagai Kebijakan
yang Menguatkan Budaya Lokal
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah
terhadap perempuan.Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik
identitas, politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan
peran publik perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini ditandaidengan alokasi APBD
lebih banyak untuk biaya pelaksanaan pemerintahan daerah daripada kesejahteraan
masyarakat. Ketiga, partisipasi aktif perempuan dalam
pembuatan kebijakan masih sangat minim, keterwakilan perempuan dalam institusi
pengambilan keputusan yang seharusnya sesuai dengan kuota 30 persen akhirnya
menjadi turun signifikan, dan kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah di
tingkat lokal jumlahnya nyaris tidak ada. Semakin menguatnya budaya yang sangat
patriarkis setelah Otonomi Daerah berjalan merupakan salah satu andil semakin
termarjinalkannya perempuan Indonesia.
Menyamakan persepsi mengenai pentingnya meletakkan budaya
masyarakat sebagai basis
sistem politik yang seniscayanya dibangun dan dikembangkan dalam implementasi daerah otonom. Dalam konteks ini, komunitas lokal
yang memiliki kekhasan budaya itulah yang menjadi penentu segala bentuk kebijakan yang
dikembangkan di setiap daerah
otonom. Nilai-nilai budaya lokal yang
beragam, dengan menghindari segala upaya uniformalisme dari (kebijakan) pemerintah pusat. Kemudian pada akhirnya akan
menimbulkan efek bagi masyarakat daerah semakin merasa berada pada rumahnya
sendiri untuk selanjutnya akan semakin mengakui
eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pemerintah pusat akan mengembangkan pola
manajemen Indonesia dengan sistem politik di
daerah-daerah otonom yang beragam sehingga ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah akan
terhindarkan setelah membuat adanya semacam
kontrak sosial baru yang berangkat dari pengakuan atas nilai budaya lokal.
-Posisi
Perempuan Era Otonomi Daerah
Apakah penerapan hukum syariat syariat Islam dalam otonomi
daerah perlu dikhawatirkan? Agaknya
kita haruslah berhati-hati menanggapinya, karena
pertama, isu itu bisa sarat dengan muatan politis dari kelompok kepentingan politik tertentu. Kedua, belum jelas bagaimana konsep hubungan
sosial baik intra komunitas
Islam maupun antar komunitas lintas agama dan budaya. Ketiga, bila kembali kepada pengertian dasarnya yakni
"jalan yang benar", maka sebenarnya hal itu takperlu dirisaukan. Hanya yang kemudian menjadi masalah
adalah siapa yang menentukanakan "jalan kebenaran"tersebut.
Bila tafsir atas jalan kebenaran yang pada akhirnya akan diwujudkan dalamsuatu
bentuk kebijakan yang berangkat dari kondisi budaya dan politik seperti
digambarkan diatas, dapat diprediksi pada masa yang akan datang akan selalu
terjadi bias pada dominasi laki-laki yang elitis.
Untuk menyikapi berbagai permasalahan di atas perempuan pada
akhirnya harus menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki dalam otonomi daerah saat ini. Sikapperempuan itu sendiriakan
sangat menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan banyak
kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah yang gerakan
HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh aspek substansial posisi
perempuan, maka akan terjadi dinamika
yang memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang berkaitan dengan
syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang dominasi budaya lokalnya yang masih
sangat kental dan tidak ada gerakan HAM secara langsung, maka kaum perempuan
hanya akan menerima segala keputusan politik
(kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinanyang paling besar
peluangnya akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya
masih sangat jauh dari sentuhan langsung
penyadaran hak asasi manusia, hal
yang paling mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang
dikeluarkan oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut merupakan
produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan masyarakat pada
daerah otonom itu sendiri. Memang
sekarang ini, termasuk (rancangan) Peraturan
Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat misalnya, lebih
mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah tersebut, karena
prosesnya tidak berdasar
kebutuhan elemen masyarakat sebagai stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para
elite politik.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperjuangkan oleh
kaum perempuan diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa proses
pengambilan kebijakan pada
tingkat lokal haruslah melibatkan semua elemen yang ada. Kemudian harus adanya
pembangunan kesadaran semua lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen
masyarakat yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena
itu,aspirasi perempuan harus menjadi pertimbangan
utama dalam proses pengambilan suatu kebijakan.
-Partisipasi
perempuan pada Tingkat Lokal
Rumusan tentang partisipasi
perempuan dalam politik lokal yang dimaksud di sini adalah rumusan Perda-Perda
yang menjamin bahwa perempuan pun dapat duduk dalam lembaga politik formal
sehingga perempuan pun dapat merumuskan kebijakan yang menguntungkan bagi
perempuan itu sendiri. Rumusan
tentang perempuan dalam kebijakan publik lokal yang dimaksud di sini adalah
rumusan Perda yang mengatur aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan
perempuan dalam wilayah publik.
Komposisi gender pada anggota legislatif juga dapat
dijadikan sebagai salah satu acuan untuk melihat dan membandingkan peluang
partisipasi politik kedua gender melalui pemilihan umum. Definisi partisipasi
politik warga negara merupakan topik yang dibahas secara luas dalam teori-teori
politik feminis. Ruth
Lister (2003) merangkum berbagai gagasan para sarjana feminis mengenai peran
warga negara, terutama hak dan kewajiban warga negara dalam kaitannya dengan
partisipasi politik. Seperti
juga di Indonesia, perempuan dianggap sebagai warga negara, tanpa pembedaan
yang tersurat dalam hak dan kewajiban dengan warga negara laki-laki. Akan tetapi yang penting adalah
untuk membedakan antara peran aktif dan peran pasif sebagai warga negara.
Lister menyitir Mary Dietz yang menyatakan bahwa partisipasi
politik adalah terminologi yang menjadi lawan peran pasif warga negara sebagai
‘pemilik hak’.Partisipasi politik berarti secara aktif melakukan sesuatu dalam
kaitan dengan kewajiban sebagai warga negara, yakni mempengaruhi kebijakan
publik. Lister mengutip Diemut Bubeck yang menyarankan bahwa kerja domestik dan
pengasuhan seharusnya juga menjadi kewajiban warga negara, sehingga beban kerja
ini tidak hanya diletakkan pada pundak perempuan dan menghalangi perempuan
memiliki ruang kemungkinan yang lebih luas untuk bergerak, tanpa dihalangi
kewajiban kultural sebagai pengurus ranah domestik yang dibebankan kepadanya.
Meskipun pemerintah di beberapa daerah menyebutkan permasalahan gender sebagai
salah satu agenda yang harus dijalankan, namun tidak ditemukan rumusan
partisipasi perempuan dalam politik lokal yang eksplisit dalam teks peraturan
daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat keterlibatan
perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal sangat
sedikit. Masalah ini bukanlah khas
pemerintahan daerah karena kita bisa melihat bahwa jumlah perempuan dalam
lembaga politik di tingkat nasional pun sangat sedikit. Jika hal ini tidak
dirumuskan, maka identifikasi masalah yang telah dilakukan pemerintah daerah
berhenti sampai taraf menimbang peraturan perundang-undangan tentang pengarusutamaan
gender.
Pengaruh utama gender tidak mungkin dilakukan tanpa
mengenali permasalahan perempuan setempat dan lebih penting lagi, mendengarkan
suara perempuan. Pengambilan keputusan mensyaratkan adanya pengetahuan dan
informasi yang cukup mengenai permasalahan perempuan, dan akan sangat berguna
jika melibatkan perempuan. Kesenjangan tersebut terlihat bahwa perempuan sangat
sedikit sekali yang menduduki jabatan-jabatan formal struktural di
pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi
perempuan dalam lembaga politik formal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
laki-laki. Padahal, berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat
Statistik (BPS) 2002, jumlah perempuan Indonesia sebanyak 51% dari seluruh
jumlah penduduk Indonesia.
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan
untuk menunjukkan bahwa kepentingannya
tidak terwadahi dalam sistem politik yang ada. Keterbatasan keterlibatan
perempuandi ruang publik juga menjadi kendalauntuk mengembangkan organisasi
perempuan untuk memformulasikan kepentingan perempuan. Karenanya harus ada ruang untuk
kemungkinan berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem partisipasinya
yang memungkinkan hal-hal yang berada di luar maskulinitas bisa diperhatikan. Luce Irigaray
(1985, h. 84) dalam pembahasannya tentang sistem bahasa menyatakan bahwa perempuan mendapat
kesulitan untuk mengartikulasikan pandangan kepada laki-laki maupun sesama perempuan karena tidak
menemukan cara ekspresi yang sesuai dalam tatanan maskulin yang tersedia dalam bahasa.
Bahasa dalam pembahasan Irigaray mewakili sebuah
strukturyang memungkinkan benda-benda dinamai, kepentingan dikemukakan dan
dipahami untuk kemudian ditanggapi.
Tatanan maskulin ini tidak perlu dihancurkan mengikuti logika ‘penumbangan
kekuasaan’maskulin karena jika demikian akan ada struktur baru yang akan
menjadi tiran baru. Persoalan pengarus-utamaan
gender sebenarnya adalah masalah membuka ruang kemungkinan dalam bahasa perencanaan dan penerapan
pembangunan yang semula maskulin, untuk mengakomodir bahasa feminin. Akomodasi ini tentunya akan
menjadi tantangan bagi asumsi-asumsi yang berlaku dalambahasa maskulin,
misalnya representasi perempuan yang pada tatanan maskulin dilekatkan pada sekitar ranah domestik yang belum
diakui sebagai ranah produktif. Jika representasi perempuan didefinisikan dalam bahasa feminin,
akan terbuka berbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak disadari mengenai peran perempuan
sebagai pekerja dan bagaimana cara mengapresiasi kerja yangdilakukan di ranah
domestik.
Rumusan partisipasi politik perempuan yang tidak tertera
dalam peraturan daerah tidak serta mertaberarti bahwa perempuan tidak memiliki
akses untuk berpartisipasi dalam politik.Terdapatbeberapa peraturan yang dibuat
dengan intensi netral gender dan memberi ruang bagi perempua nuntuk berpartisipasi aktif dalam
politik lokal seperti Surat Keputusan (S.K.) Walikota Sukabumi No.133 Tahun
2001 Tahun Anggaran 2001 dan S.K. Walikota Sukabumi No. 205 Tahun 2001 tentang Alokasi Dana Pembangunan Kelurahan
dan Pembentukan Tim Pembina dan Pengendali Dana Pembangunan Kelurahan Kota Sukabumi Tahun Anggaran 2001,
Perda No. 5 Tahun 2001(Tasikmalaya), Perda No. 3 Tahun 2002 dan Peraturan
Daerah No. 12 Tahun 2002 (Bali), Perda No.Representasi Perempuan dalam
Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah – 927 Tahun 2001 (Mataram).
Ruang untuk partisipasi politik perempuan yang dimungkinkan
melalui jenis peraturan seperti ini harus
terus menerus dinegosiasikan antara perempuan dan para pemangku kepentingan lainnya. Negosiasi untuk memperoleh ruang
partisipasi yang lebih luas menuntut peranperempuan yang aktif dan terorganisir
sehingga mampu menghasilkan perbedaan dalam tata pemerintahan.Tanpa peran aktif dan organisasi yang inklusif,
perempuan hanya akan menjadi aktor karena jenis kelaminnya, tapi membuat kebijakan yang tidak menguntungkan
perempuan. Tuntutan perempuanuntuk terlibat dalam pengambilan keputusan tidak
berhenti pada jumlah perempuan yang masuk dalam struktur politik, tapi juga pada visi dan agenda
mereka untuk memperbaiki kondisi perempuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut,maka daerah dapat di katakan
sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa ada tekanan dari
luar (external intervention).
Pemerintah pusat hanya menangani 6
urusan saja :
g) Politik
luar negeri
h) Pertahanan
i)
Keamanan
j)
Yustisi
k) Moneter
dan fiscal nasional, dan
l)
Agama.
Daftar
pustaka
Winarno, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan
panduan kuliah di perguruan tinggi-2014
Jakarta: BumI
Aksara
Djoiz bijaksono
suparno, pendidkan kewarganegaraan-2006
Yogyakarta: Mataram university press
Ruslinawati ,pendidikan kewarganegaraan-2009
Jakarta: Rajawali cilik
Samidi –w.
vidyaningtyas, belajar memahami
kewarganegaraan-2012
Jakarta :tiga serangkai pustaka mandiri
Azra azyumardi, kewarganegaraan(civic education): demokrasi,
hak asasi manusia, masyarakat madani-2000
Jakarta :I CCE UIN
syarif hidayatullah
http://akhmadsatori.blogspot.co.id/2012/04/otonomi-daerah-dalam-perspektif-gender.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar