MAKALAH
FIQH
ALIRAN/MAZHAB
ILMU FIQH
DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV:
NURLAELA
HANI
JUWITA SARI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2016
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
mazhab
Menurut bahasa, istilah mazhab merupakan sighat isim makan
dari fi'il madi yaitu Dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab
artinya: tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak,
thariiqah dan sabiil, yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Pengertian
mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah, "Sejumlah dari fatwa-fatwa
dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah
maupun lainnya." Setiap mazhab punya guru dan tokoh-tokoh yang
mengembangkannya. Biasanya mereka punya lembaga pendididikan yang mengajarkan
ilmu-ilmu kepada ribuan muridnya. Berkembangnya suatu mazhab di sebuah wilayah
sangat bergantung dari banyak hal. Salah satunya dari keberadaan pusat-pusat
pengajaran mazhab itu sendiri.
B. Mazhab-mazhab
ushul fiqh
1.
Mazhab Hanafiah ( Tahun 80 – 180 H )
Pemikiran fiqh dari mazhab
ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yiserta
faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab
Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan.
Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama
mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan.
Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus
tertentu.Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai
sebagai hadits ahad.
Pendiri madzhab Hanafi
ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Dilahirkan pada masa sahabat di kota Kuffah
pada masa Dinasti Umayyah, yaitu pada tahun 80 H atau 699 M.Beliau
wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau
lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah An Nu’man bin Sabit bin Zauti.
Semua literature yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanafiah menyebutkan bahwa
Abu Hanafiah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid,
wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’. Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah
banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada kitabullah dan As sunnah.
Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes
dikalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu
hanafiah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran
pemikiran mazhabnya, mengundang reaksi kalangan ulama.
Iman hanafi disebutkan
Sebagai Tokoh yang Pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawaldari kesucian (taharah), Shalatdan
seterusnya, yang kemudian diikutioleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin
annas, Iman Safi’I, Abu Daud, Bukhari, Muslim dan
lainnya. Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana
yangdisampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata,
diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada
imamAbu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid.Semoga Allah memberikan
rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar
fitnah yang tudak suka padan Abu Hanafiah dan member keterangan palsu pada
Almashur melakukan pembunuhan itu, kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud
hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud saat itu, dan ada sebuah riwayat
mengatakan bahwa ketika merasa ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada
bulan Rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
Abu
Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau
belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak
belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi
Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Madzhab Hanafi adalah sebagai
nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi madzhab
Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal
dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal
dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah
digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode
ijtihad ulama-ulama Irak ( Ahlu Ra’yi ).Maka disebut juga mazhab
Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Fiqih Mazhab HanafiAbu Hanifah
memang belum menetapkan dasar-dasar pijakandalam berijtihad secara terperinci,
tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan
pemikiran fiqhiyah tercermindalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan
segala persoalan padaKitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila
saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi
saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi dan tidak beralih pada
fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim,
Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib(semuanya adalah
tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad
pengertian luas.
Dasar-dasar Mazhab
HanafiAbu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu
Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’ dan
Uruf.Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
1) Abu Yusuf
bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
2) Zufar bin
Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
3) Muhammad bin
Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
4)
Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari.
Daerah-daerah Penganut
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara
Islam bagian Timur.Mazhab hanafiah berkembag di masa abbassyiah dinegeri
Baghdad, mesir, Persia, Maghribi dan sebagian negera Yaman.Dan sekarang ini mazhab
Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.Dan madzhab
ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin
India dan Tiongkok.
Yang menjadi pedoman dalam
menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an,
sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama
yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya
merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber
tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang
menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh.Akan tetapi
pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk
menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat
Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku
Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
1) Bagian
pertama diberi nama al-Mabsut;
2) Bagian
kedua al-Jami’ al-Kabir;
3) Bagian
ketiga al-Jami’ as-Sagir;
4) Bagian
keempat as-Siyar al-Kabir;
5) Bagian
kelima as-Siyar as-Sagir; dan
6)
Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan
secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5
H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi
judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk
dalam Mazhab Hanafi.Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid
Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai
peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam
kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab
lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini
juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu
al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang
ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah
langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi
yang banyak sekali menggunakan qiyas.
Abu hanafiah dikenal sebagai imam ahlul, dalam
menghadapi nas al-quran dan al-sunnah, ia selalu menangkap pesan dibalik nas.
Maka ia dikenal ahli dibidang ta’lil al-ahkam dan qiyas. Dari pendiriannya itu
dia memunculkan istihsan sampai sekarang mazgab hanafi masih banyak
penganutnya.
2. Mazhab
Maliki (Tahun 93 - 179 H)
Madzhab Maliki adalah
merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para
penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.Nama lengkap dari pendiri
madzhab ini ialah Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M atau 712 M
di Madinah.
Seperti imam-imam yang lain, imam maliki
menempatkan al-quran sebagai sumber hokum pertama, kemudian al-hadist sedapat
mungkin hadist yang muttawatir atau masyur. Ia mau juga menggunakan hadist ahad
sebagai dalil syari kalau memang tidak ada dalil lain yang lebih kuat. Meskipun
demikian ia kuat dalam seleksi hadist.
Di antara langkah penting
yang ditawarkan oleh mazhab malikindalam berijtihad adalah penggunaan
al-maslahah al-mursalah. Teori ini diilhami oleh suatu paham bahwa syariah
islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan, dan kedamaian bagi
kepentingan masyarakat dan mencegah kemudaratan. Menurut imam malik,
kepentingan bersama merupakan sasaran ke syariat islam.
.Dari beberapa isyarat yang
ada dalam fatwa-fatwa dan bukunya al-Muwattha’, fuqaha malikiyah merumuskan
dasar-dasar mazhab maliki.Sebagian fugaha malikiyah menyebutkan bahwa
dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu nash literatur al-quran,
mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih ala’illah (pencarian kuasa
hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’, qiyas, tradisi orang-orang madinah,
qaul sahabat, istihsan, istihab, sadd al darai’, mura’at al khilaf, maslahah
mursalah dan syar’u manqablana. Al-qurafi dalam bukunya tanqih al-ushul
menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : al-quran, sunnah,
ijma’, qiyas, tradisi orang-orang madinah, qaul sahabat, istihsan, istihab,
sadd al darai’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u manqablana.
Bahkan Syatibi seorang ahli hokum mazhab maliki menyedeharnakan dasar-dasar
mazhab maliki kedalam empat hal, yaitu al-quran, sunnah, ijma’ dan ra’yi
(rasio).
Selanjutnya dalam kalangan
umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik.Imam Malik terkenal
dengan imam dalam bidang hadits Rasulullah SAW.Imam Malik belajar pada
ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin
Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az
Zuhri.Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur
Rahman.Imam Malik adalah imam ( tokoh ) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua
bidang fiqh dan hadits.Dasar-dasar madzhab Maliki diperinci dan diperjelas
sampai tujuh belas pokok ( dasar ) yaitu:
1)
Nashshul Kitab
2)
Dzaahirul Kitab ( umum )
3) Dalilul
Kitab ( mafhum mukhalafah )
4) Mafhum
muwafaqah
5) Tanbihul
Kitab, terhadap illat
6) Nash-nash
Sunnah
7) Dzahirus
Sunnah
8) Dalilus
Sunnah
9)
Mafhum SunnahTanbihus Sunnah
10) Ijma’
11) Qiyas
12) Amalu Ahlil Madinah
13) Qaul Shahabi
14)
Istihsan
15)
Muraa’atul Khilaaf
16) Saddud Dzaraa’i
Sahabat-sahabat Imam Maliki
dan Pengembangan Mazhabnya,Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke
Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:
1) Abu Muhammad IbnuWahab Ibnu
Muslim Al Quraisy (tahun 125-197).
2) Abu Abdullah Abdur Rahman Ibnu
Al Qasim al-Utaqy (wafat di mesir pada tahun 191 H).
3) Asyhab Ibnu Abdul Aziz al-Qaisy
Al Djidiy (tahun 140 H-204 H).
4) Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abdul Hakam
Ibnu A’yun (tahun 155 H-214H).
5) Asbagh Ibnu
AlFadj al-Umawy, dan lain-lain.
Adapun ulama-ulama yang
mengembangkan madzhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1) Abu Abdillah Ziyad bin Abdur
Rahman al-Qurthubi.
2) Isa bin Dinar al-Andalusi.
3) Yahya bin Yahya bin Katsir
Al-Laitsi.
4) Abdul Malik bin Habib bin
Sulaiman As Sulami.
5) Abdul Hasan Ali bin Ziyad At
Tunisi.
6) Asad bin Furat.
7)
Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Daerah-daerah yang Menganut
Mazhab Maliki Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai
saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
3. Mazhab
Syafi’i (Tahun 150-204 H)
Mazhab
Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibnu Idris bin abbas bin Usman bin Al-Syafi’i
bin saaib bin ‘Abid bin Abdu Yazid bin hasim bin Muthalib bin Abdu manaf yang
seringkali dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i, yang merupakan kakek dari kakek
Nabi. Beliau dilahirkan di Ghazzah syam (pelestina) dari keturunan Quraisy pada
tahun 150 H, dan nasabnya bertemu dengan nabi Muhammad SAW, pada kakeknya, Abdi
manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah.
Iman syafi’I merupakan
manusia dua zama yaitu lahir pada zaman pemerintahan Umayyah dan meninggal pada
zaman pemerintahan Dinasti Bani Abbas. Ketika Iman syafi’I berumur 19 tahun,
Muhammad al-mahdi diganti oleh Musa Al-mahdi (169-170 H), ia berkuasa hanya
satu tahun kemudian ia digantikan oleh Harun Al-rasyid (170-194 H). pada awal
kekuasaan Harun al-rasyid iman syafi’I berusia 20 tahun. Harun al-rasyid
digantikan oleh al-Almin (194-198 H), dan Amin digantikan oleh al-Makmun
(198-218 H).
Imam Syafi’i dibesarkan dalam kondisi keluarga
yang miskin dan dalam keadaan yatim tetapi beliau tidak merasa rendah diri
ataupun malas, sebaliknya beliau giat belajar hadist dari para ulama hadist
yang terdapatdi kota Makkah dan pada masa usianya yang masih kecil sekitar
tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafalAl-Qur’an, selain itu ia juga banyak
menghafal hadits-hadits Nabi.Selain pengembara intelektual dan ilmuan yang
sedemikian rupa, fiqih iman syafi’I juga merupakan reflaksinya, dengan kata
lain kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam
Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhabfiqihnya.Sejarah hidupnya
menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhioleh masyarakat sekitar terbukti
dengan munculnya dua kecendrungandalam mazhab Syafi’i yang dikenal
denganqaul qadim (mazhab lama) qaul jadid (mazhab baru).[25]
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim
imam Syafi’I dibangun di Irak pada tahin 195 H. Kedatangan imam Syafi’I ke
Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam
perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional irak. Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang
dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.Pemikiran-pemikiran
baru Imam Syafi’i di antaranya dimuat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahu 192 H ia kembali ke Baghdad dan
berdiam disana selama tiga tahun. Karakteristik pemikiran Syafi’i
tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan
pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah.
Pluralisme pemikiran yang
ada di Irak adalah factor utama yang menyebabkan kematangan pemikiranSyafi’i.Kemudian pada tahun 199 H. ia
pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakirnya di Mesir
ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah
ditulisnya, Bukunya Ar-Risalahyang ditulis ketika di
Makkah direvisiulang, dikurangi dan ditambah
sesuai dengan perkembangan baru dimesir.
Guru Imam Syafi’i yang
pertama adalah Muslim bin Khalid seorang mufti dari Makkah. Imam Syafi’i adalah
seorang yang cerdas otaknya, kuat ingatannya hingga beliau sanggup hafal
Al-Qur’an pada usia yang cukup muda yaitu pada usia 9 tahun. Setelah beliau
hafal Al-Qur’an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir, kemudian beliau
mempelajari hadist dan fiqih. Imam Syafi’i adalah salah seorang murid Imam
Malik yang sewaktu belajar ternyata beliau telah hafal kitab Imam Malik,
yaitu kitab Al Muwatho’ yang dianggap sebagai kitab induk dari Mazhab Maliki.
Pada mulanya beliau mengikuti jejak Imam Maliki, tetapi setelah memperoleh
pengetahuan dan pengalaman yang luas maka beliau membentuk mazhab tersendiri.
Disamping guru, Iman
Syafi’I memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqih
iman al-Syafi’I dan ada juga yang mendirikan ajaran fiqih tersendiri, diantara
murid iman Syafi’I adalah al-Za’farani al-Kurabisyi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal
al-Buthi, al-Rabi’ al-Muradi di mesir dan Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam
al-Luqawi Irak.
Ia tidak lama tinggal di bagdad karena
pemerintahan sedang dipimpin oleh al-Makmun (198 H) dari dinasti Bani Abbas
yang cenderung berpihak kepada unsure Persia yang ketika itu telah dilakukan
penerjemahan buku filsafat secara besar-besaran diantaranya dilakukan oleh HUnain
Ibn Isk yang telah menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Arab, dan dekat
kepada Mu’tazilah, bahkan Mu’tazilah dijadikan mazhab Negara secara resmi yang
berakir dengan kasus mibnat. Sedangkan iman syafi’I cenderung menjauhkan diri
dari orang-orang Mu’tazilah. Ketika al-Makmun meminta iman syafi’I untuk
menjadikan hakim besar di bagdad iman syafi’I menolaknya dan ia keluar dari
bagdad dan beliau pergi ke Negari Mesir.
Beliau mengajar di masjid
Amr ibn Ash serta menulis Kitab Al-Umm, Amali Kubra, Kitab Risalah, Ushul
Al-Fiqih dan memperkenalkan Qaul Jadid sebagai mazhab baru. Imam syafi’i
dikenal sebagai orang yang pertama kali memelopori pertama kali penulisan dalam
bidang tersebut.Di Mesir inilah Imam Syafi’i wafat setelah menyebarkan ilmu dan
manfaat kepada banyak orang. Murid-murid beliau yang terkenal adalah ibn
Abdullah ibn Al-Hakam, Abu Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya Al-Muzanni, serta Abu
Ya’qub Yusub ibn Yahya Al-Buwaiti dan sebagainya.
Dalam pengembaraannya ia
mengambil corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-hadist. Ia berpendapat bahwa
tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya tidak seluruh metode
ahl al-hadist harus diambil.Akan tetapi menutnya tidak baik pula meninggalkan
seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan demikian imam syafii tidak
fanatic terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri
sebagai penengah antatara kedua metode yang ekstrim.ia berpendapat bahwa qiyas
merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus.
Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak
madzhab fiqih yang sampai saat ini masih mendapat apresiasi luar biasa dari
mayoritas kaum muslimin dunia. Keunggulan utama Madzhab Syafi’i terletak pada
sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya, pendiri madzhab ini Muhammad bin
Idris asy-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua aliran hukum Islam yang
berkembang saat itu, yaitu aliran tekstualis (madrasatul hadits) dan aliran
rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari
produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada substansi nash (al-Qur’an
dan as-Sunnah), dan dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalili analogi
(qiyas). Sebagai Bapak Ushul Fiqih, Imam Syafi’i mewariskan seperangkat metode
istimbath hukum yang berfungsi untuk menganalisa beragam kasus hukum baru yang
terjadi di kemudian hari. Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang
konsen menafsirkan, menjabarkan, dan mengembangkan pemikiran beliau dalam
ribuan halaman karya ilmiah di bidang hukum Islam.
Mazhab Syafi’i artinya adalah pendapat imam
Syafi’i tentang masalah suatu hukum yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist
berdasarkan analisis dan Ijtihad beliau.Selanjutnya bila seseorang dikatakan
bermazhab Syafi’i maka artinya orang tersebut mengikuti jalan fikiran atau pendapat
Syafi’i tentang masalah yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist.Mazhab
Syafi’i terdiri dari dua macam, hal tersebut didasarkan pada masa dan tempat
beliau mukim.Yang pertam adalah Qaul Qodim, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu
beliau hidup di Irak, dan yang kedua adalah Qaul Jadid, yakni mazhab yang
dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir yaitu setelah pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibandingkan deng an Imam yang lainnya adalah beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kiitabnya Ar Risalah
serta kitab Al-Umm dalam bidang Fiqh yang menjaid induk dari mazhabnya.
Qaul Qodim merupakan
pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dihasilkan dari perpaduan antara mazhab
iraqy yang bersifat rasional dan pendapat Ahlu al-Hadist yang bersifat
tradisional, tetapi fiqh yang demikian lebih sesuai terhadap ulama-ulama yang
datang dari berbagai negara Islam ke Makah pada saat itu, mengingat situasi dan
kondisi negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Makah pada waktu itu
berbeda-beda satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan
kondisi negaranya. Hal tersebut juga menyebabkan pendapat Imam syafi’i mudah
diterima dan tersebar ke berbagai negara Islam. Kedatangan Imam Syafi’i kedua
kalinya ke Irak hanya beberapa bulan saja tinggal disana dan kemudian pergi ke
Mesir, di mesir inilah tercetus Qaul jadid yang didektekannya kepada muridnya
di Mesir. Qaul jadid Imam Syafi’i ini dicetuskan setelah bertemu dengan para
ulama Mesir dan mempelajari fiqih dan hadist dari mereka serta adat istiadat,
situasi dan kondisi masyarakat Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i
merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakan di Irak.
Pokok-pokok fiqih Syafi’i
ada lima:
1)
Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Imam Syafi’i memandang al-Qur’an dan
al-Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar
dengan al-Qur’an, karena menurut beliau Sunnah menjelaskan al-Qur’an kecuali
hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir.
Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad
mensyaratkan sebagai berikut :
·
Perawinya terpercaya
·
Perawinya berakal
·
Perawinya dhabith (kuat ingatannya)
·
Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan
kepadanya.
·
Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang meriwayatkan hadits tersebut.
2)
Al-Ijma’
Imam
Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan beliau menempatkan ijma’
sesudah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas.
a.
Pendapat sahabat yang tidak ada yang menentangnya.
b. Ikhtilaf sahabat Nabi
c.
Qiyas
Kitab-kitab
Imam Syafi’i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didektekan kepada muridnya
maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut:
a) Kitab al-Risalah, tentang
ushul fiqh.
b) Kitab al-Umm, sebuah
kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
c) Kitab al-Musnad, berisi
hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan
sanad-sanadnya.
d) Al-Imla’
e) Al-Amaliy.
f) Harmalah
(dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
g) Mukhtashar al-Muzaniy
(dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
h) Mukhtashar al-Buwaithiy
(dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
i) Kitab
Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadist-hadist Nabi SAW).
Daerah-daerah yang yang
menganut mazhab Syafi’i adalah Libia, Mesir, Indonesia, Philipina, Malysia,
Somalia, Arabia selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz,
Paistan, India, Sunni-Rusia, Yaman, jazirah Indo China.[34]
Pendapat Imam Syafi’I dalam
Kitab ar-Risalah dan Kitab al-Umm, diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam
Syafi’I berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika Kami menjumpai para ulama
mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka
meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari
para sahabat.”Kemudian seorang teman diskusinya bertanya : “Bagaimanakah
sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab :”Jika kami tidak
menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan sesamanya, maka
kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-rabi’, bahwa Imam
Syafi’I didalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata :
“Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar
hukum dalam al-Qur’an dan Sunah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat
atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami
lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena
jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf
yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunah, niscaya kami mengikuti pendapat
yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, Juz 7, hal. 247 )
Keterangan diatas menunjukan, bahwa dalam
menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari al-Qur’an dan
Sunah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu,
pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang
kuat dengan al-Qur’andan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh
al-Khulafa’ra Rasyidun, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya
sangat teliti.
4. Mazhab
Hambali (Tahun164-241 H)
Pendiri Madzhab Hambali
ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili
Assyaibani.Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H di
baghdad juga. Beliau keturunan Bani Sya’ban, yang berdomilisi di semenanjung
jazirah arab. Pendidikan dasar, terutama al Quran yang di asuh oleh keduan
orang tuanya. Pada usia 14 tahun beliau sudah dapat menghafal al Quran, dan
kemudian Beliau mengembara kebeberapa negeri yang terkenal seperti Yaman, kufah,
Basrah, Mekah, Madinah dan lain-lain. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang
banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara
lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun
sejumlah 40.000 hadits dalam kitab Musnadnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam
mengistinbatkan hukum adalah:
a. Nash Al-Qur’an atau nash
hadist, yaitu apabila beliau menemukan nash baik dari Al-Qur’an maupun hadist
beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak pula
memperhatikan pendapat-pendapat para sahabat.
b. Fatwa sebagian sahabat, yaitu jika
beliau tidak mendapatkan nash maka beliau berpegang teguh pada fatwa sahaby
jika fatwa tersebut tidak ada yang menantangnya.
c. Pendapat sebagian sahabat, beliau
memandang pendapat sebagian sahabat sebagai dalil hukum. Jika terdapat beberapa
pendapat dalam suatu masalah maka beliau mengambil pendapat yang lebih dekat
kepada Kitab dan Sunnah.
d. Hadist mursal atau hadist dhhoif, hal
ini dipakai jika hadis tersebut tidak berlawanan dengan suuatu atsar atau
pendapat seorang sahabat.
e. Qiyas,
jika beliau tidak memperoleh sesuatu dasar diantarayang tersebut di atas maka
dipergunakanlah qiyas.
Bahkan ia menjadikan perkataan tabi’in
sebagai rujukan seperti perkataan sahabat, apabila terdapat perbedaan pendapat
diantara para sahabat, maka iman hambali akan memilih pendapat yang paling
dekat dengan al-quran dan al-sunnah. Disamping itu hambali juga mengambil
hadist mursal dan da’if sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya, yang
dimaksud dengan da’if disini bukan da’if yang batil dan mungkar, tapi da’if
yang termasuk salih atau hasan atau dengan kata lain hadist da’if dalam hal ini
adalah hadist da’if yang paling atas. Menurutnya hadist ini lebih utama pada
menggunakan qiyas, ia hanya menggunakan qiyas dalam keadaan yang darurat.
Dari dasar-dasar dan metode-metode
pengambilan hukumnya ini terlihat bahwa imam
Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio
sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas. Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin
Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.Adapun ulama-ulama yang
mengembangkan madzhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1) Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang
terkenal dengan nama Al-Atsram – dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi
‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2) Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi
yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
3) Ishaq bin
Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk ashab
Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada
beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan madzhab
Hambali, di antaranya:
1) Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang
mengarang kitab Al-Mughni.
2) Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi
pengarang Assyarhul Kabiir.
3) Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu
Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4) Ibnul Qaiyim
al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis
Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan
mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah
yang Menganut Madzhab Hambali, Awal perkembangannya, madzhab Hambali berkembang
di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama.Pada abad XII madzhab
Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. (
saat ini menganut Faham Abu Hanifah ).Dan masa sekarang ini menjadi madzhab
resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah
Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Kitab-kitab Imam Hambali
selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik,ia juga`seorang pengarang.
Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang
isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya.
Di
antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut :
1) Kitab Al-Musnad.
2) Kitab Tafsir al-Qur’an.
3) Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
4) Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur’an.
5) Kitab Jawabul al-Qur’an
6) Kitab al-Tarikh
7) Kitab Manasiku al-Kabir
8) Kitab Manasiku al-Shagir
9) Kitab Tha’atu al-Rasul
10) Kitab al-‘illah
11) Kitab al-Shalah.
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin
Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di
zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang
fiqh ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqh
Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut
bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh
Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang
kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang
hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam
Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah
oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani (w.1221 H.) dengan
judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang
populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.),
yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan
dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di
antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam
fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin
Murtada (w. 840 H.) yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li
Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah
tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak
antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan
yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping
itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah
mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih
dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah
Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi ’i dengan beberapa perbedaan yang
mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus
dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka
sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu
ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah
Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal
ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang
menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar
keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam
menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh
imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram.
Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w.
203 H/ 818M). Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri
sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij
as-Saffar al-A’raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah Imamiyah
dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi
’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah
Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq
al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah
dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1. Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang
diharamkan ahlus sunnah;
2. Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam
talak, yang menurut
pandangan ahlus
sunnah tidak perlu; dan
3. Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah,
mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Pengertian mazhab yang telah punah di
sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan
pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut
sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu
pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu,
mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga
tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada. Menurut Muhammad Yusuf Musa,
mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman
al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah)
yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang
ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata:
"Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah
tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya
(selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza’i pernah dianut oleh
masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut
masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana.
Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur
fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam
kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310
H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan
dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i. Dalam al-Umm,
asy-Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza’i,
serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli
fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal
abad kedua Hijriyah.
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri
(w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah
seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia
juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat
lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin
Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab
as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin
Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya
abad ke-3 H. Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais
yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya
tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang
pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada
bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak
menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang
diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu
dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang
hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu
memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut;
dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka
memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman
pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah
memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak
tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah
suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan
hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya,
hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’.
Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash
menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut
semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan
berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais,
menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing
yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah
nash).
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut
Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan
faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan
mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang
sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan
fi Tafsir Al-Qur’an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku
dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah
belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam
asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti
pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak
mempunyai pengikut lagi.
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri
yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang
melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di
bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh. Sesuai dengan namanya, prinsip dasar
mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi SAW) secara
literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang
dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak
dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’. Ijma’ yang
mereka terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu,
sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut
Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak
kehujahan ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang
dikemukakan Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan,
al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra’yu
(rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri
banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut
fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat
mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab.
Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil
ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah
Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan
Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib
al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar