Selasa, 30 Mei 2017

MAKALAH FIQH



MAKALAH FIQH
ALIRAN/MAZHAB ILMU FIQH






  DISUSUN OLEH
    KELOMPOK IV:
NURLAELA
HANI JUWITA SARI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2016




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian mazhab
Menurut bahasa, istilah mazhab merupakan sighat isim makan dari fi'il madi yaitu Dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya: tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariiqah dan sabiil, yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah, "Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya." Setiap mazhab punya guru dan tokoh-tokoh yang mengembangkannya. Biasanya mereka punya lembaga pendididikan yang mengajarkan ilmu-ilmu kepada ribuan muridnya. Berkembangnya suatu mazhab di sebuah wilayah sangat bergantung dari banyak hal. Salah satunya dari keberadaan pusat-pusat pengajaran mazhab itu sendiri.

B.     Mazhab-mazhab ushul fiqh

1.      Mazhab Hanafiah ( Tahun 80 – 180 H )
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yiserta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Pendiri madzhab Hanafi ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Dilahirkan pada masa sahabat di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah, yaitu pada tahun 80 H atau 699 M.Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah An Nu’man bin Sabit bin Zauti. Semua literature yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanafiah menyebutkan bahwa Abu Hanafiah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’. Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar  pada ra’yun, setelah pada kitabullah dan As sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes dikalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu hanafiah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengundang reaksi kalangan ulama.
Iman hanafi disebutkan Sebagai Tokoh yang Pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawaldari kesucian (taharah), Shalatdan seterusnya, yang kemudian diikutioleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin annas, Iman Safi’I, Abu Daud, Bukhari, Muslim dan lainnya. Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yangdisampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imamAbu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid.Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tudak suka padan Abu Hanafiah dan member keterangan palsu pada Almashur melakukan pembunuhan itu, kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud saat itu, dan ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika merasa ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Madzhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi madzhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak ( Ahlu Ra’yi ).Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Fiqih Mazhab HanafiAbu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakandalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermindalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan padaKitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib(semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad pengertian luas.
Dasar-dasar Mazhab HanafiAbu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’ dan Uruf.Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
1)      Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
2)      Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
3)      Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
4)      Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari.
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur.Mazhab hanafiah berkembag di masa abbassyiah dinegeri Baghdad, mesir, Persia, Maghribi dan sebagian negera Yaman.Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.Dan madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
 Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh.Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
1)      Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
2)      Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
3)      Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
4)      Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
5)      Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
6)      Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas.
 Abu hanafiah dikenal sebagai imam ahlul, dalam menghadapi nas al-quran dan al-sunnah, ia selalu menangkap pesan dibalik nas. Maka ia dikenal ahli dibidang ta’lil al-ahkam dan qiyas. Dari pendiriannya itu dia memunculkan istihsan sampai sekarang mazgab hanafi masih banyak penganutnya.
2.      Mazhab Maliki (Tahun 93 - 179 H)
Madzhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.Nama lengkap dari pendiri madzhab ini ialah Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M atau 712 M di Madinah.
 Seperti imam-imam yang lain, imam maliki menempatkan al-quran sebagai sumber hokum pertama, kemudian al-hadist sedapat mungkin hadist yang muttawatir atau masyur. Ia mau juga menggunakan hadist ahad sebagai dalil syari kalau memang tidak ada dalil lain yang lebih kuat. Meskipun demikian ia kuat dalam seleksi hadist.
Di antara langkah penting yang ditawarkan oleh mazhab malikindalam berijtihad adalah penggunaan al-maslahah al-mursalah. Teori ini diilhami oleh suatu paham bahwa syariah islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan, dan kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudaratan. Menurut imam malik, kepentingan bersama merupakan sasaran ke syariat islam. 
.Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwa dan bukunya al-Muwattha’, fuqaha malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab maliki.Sebagian fugaha malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu nash literatur al-quran, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih ala’illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’, qiyas, tradisi orang-orang madinah, qaul sahabat, istihsan, istihab, sadd al darai’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u manqablana. Al-qurafi dalam bukunya tanqih al-ushul menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : al-quran, sunnah, ijma’, qiyas, tradisi orang-orang madinah, qaul sahabat, istihsan, istihab, sadd al darai’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u manqablana. Bahkan Syatibi seorang ahli hokum mazhab maliki menyedeharnakan dasar-dasar mazhab maliki kedalam empat hal, yaitu al-quran, sunnah, ijma’ dan ra’yi (rasio).
Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik.Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadits Rasulullah SAW.Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri.Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman.Imam Malik adalah imam ( tokoh ) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.Dasar-dasar madzhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok ( dasar ) yaitu:
1)      Nashshul Kitab
2)      Dzaahirul Kitab ( umum )
3)      Dalilul Kitab ( mafhum mukhalafah )
4)      Mafhum muwafaqah
5)      Tanbihul Kitab, terhadap illat
6)      Nash-nash Sunnah
7)      Dzahirus Sunnah
8)      Dalilus Sunnah
9)      Mafhum SunnahTanbihus Sunnah
10)    Ijma’
11)    Qiyas
12)    Amalu Ahlil Madinah
13)    Qaul Shahabi
14)    Istihsan
15)    Muraa’atul Khilaaf
16)    Saddud Dzaraa’i
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya,Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:
1)  Abu Muhammad IbnuWahab Ibnu Muslim Al Quraisy (tahun 125-197).
2)  Abu Abdullah Abdur Rahman Ibnu Al Qasim al-Utaqy (wafat di mesir pada tahun 191 H).
3)  Asyhab Ibnu Abdul Aziz al-Qaisy Al Djidiy (tahun 140 H-204 H).
4)  Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abdul Hakam Ibnu A’yun (tahun 155 H-214H).
5)  Asbagh Ibnu AlFadj al-Umawy, dan lain-lain.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan madzhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1)  Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
2)  Isa bin Dinar al-Andalusi.
3)  Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4)  Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
5)  Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6)  Asad bin Furat.
7)      Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

3.      Mazhab Syafi’i (Tahun 150-204 H)
Mazhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibnu Idris bin abbas bin Usman bin Al-Syafi’i bin saaib bin ‘Abid bin Abdu Yazid bin hasim bin Muthalib bin Abdu manaf yang seringkali dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i, yang merupakan kakek dari kakek Nabi. Beliau dilahirkan di Ghazzah syam (pelestina) dari keturunan Quraisy pada tahun 150 H, dan nasabnya bertemu dengan nabi Muhammad SAW, pada kakeknya, Abdi manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah.
Iman syafi’I merupakan manusia dua zama yaitu lahir pada zaman pemerintahan Umayyah dan meninggal pada zaman pemerintahan Dinasti Bani Abbas. Ketika Iman syafi’I berumur 19 tahun, Muhammad al-mahdi diganti oleh Musa Al-mahdi (169-170 H), ia berkuasa hanya satu tahun kemudian ia digantikan oleh Harun Al-rasyid (170-194 H). pada awal kekuasaan Harun al-rasyid iman syafi’I berusia 20 tahun. Harun al-rasyid digantikan oleh al-Almin (194-198 H), dan Amin digantikan oleh al-Makmun (198-218 H).
 Imam Syafi’i dibesarkan dalam kondisi keluarga yang miskin dan dalam keadaan yatim tetapi beliau tidak merasa rendah diri ataupun malas, sebaliknya beliau giat belajar hadist dari para ulama hadist yang terdapatdi kota Makkah dan pada masa usianya yang masih kecil sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafalAl-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi.Selain pengembara intelektual dan ilmuan yang sedemikian rupa, fiqih iman syafi’I juga merupakan reflaksinya, dengan kata lain kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhabfiqihnya.Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhioleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungandalam mazhab Syafi’i yang dikenal denganqaul qadim (mazhab lama) qaul jadid (mazhab baru).[25]
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim imam Syafi’I dibangun di Irak pada tahin 195 H. Kedatangan imam Syafi’I ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional irak. Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya dimuat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahu 192 H ia kembali ke Baghdad dan berdiam disana selama tiga tahun. Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah.
Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah factor utama yang menyebabkan kematangan pemikiranSyafi’i.Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya, Bukunya Ar-Risalahyang ditulis ketika di Makkah direvisiulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru dimesir.
Guru Imam Syafi’i yang pertama adalah Muslim bin Khalid seorang mufti dari Makkah. Imam Syafi’i adalah seorang yang cerdas otaknya, kuat ingatannya hingga beliau sanggup hafal Al-Qur’an pada usia yang cukup muda yaitu pada usia 9 tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur’an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir, kemudian beliau mempelajari hadist dan fiqih. Imam Syafi’i adalah salah seorang murid Imam Malik yang sewaktu  belajar ternyata beliau telah hafal kitab Imam Malik, yaitu kitab Al Muwatho’ yang dianggap sebagai kitab induk dari Mazhab Maliki. Pada mulanya beliau mengikuti jejak Imam Maliki, tetapi setelah memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang luas maka beliau membentuk mazhab tersendiri.
Disamping guru, Iman Syafi’I memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqih iman al-Syafi’I dan ada juga yang mendirikan ajaran fiqih tersendiri, diantara murid iman Syafi’I adalah al-Za’farani al-Kurabisyi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal al-Buthi, al-Rabi’ al-Muradi di mesir dan Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam al-Luqawi Irak.
 Ia tidak lama tinggal di bagdad karena pemerintahan sedang dipimpin oleh al-Makmun (198 H) dari dinasti Bani Abbas yang cenderung berpihak kepada unsure Persia yang ketika itu telah dilakukan penerjemahan buku filsafat secara besar-besaran diantaranya dilakukan oleh HUnain Ibn Isk yang telah menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Arab, dan dekat kepada Mu’tazilah, bahkan Mu’tazilah dijadikan mazhab Negara secara resmi yang berakir dengan kasus mibnat. Sedangkan iman syafi’I cenderung menjauhkan diri dari orang-orang Mu’tazilah. Ketika al-Makmun meminta iman syafi’I untuk menjadikan hakim besar di bagdad iman syafi’I menolaknya dan ia keluar dari bagdad dan beliau pergi ke Negari Mesir.
Beliau mengajar di masjid Amr ibn Ash serta menulis Kitab Al-Umm, Amali Kubra, Kitab Risalah, Ushul Al-Fiqih dan memperkenalkan Qaul Jadid sebagai mazhab baru. Imam syafi’i dikenal sebagai orang yang pertama kali memelopori pertama kali penulisan dalam bidang tersebut.Di Mesir inilah Imam Syafi’i wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Murid-murid beliau yang terkenal adalah ibn Abdullah ibn Al-Hakam, Abu Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya Al-Muzanni, serta Abu Ya’qub Yusub ibn Yahya Al-Buwaiti dan sebagainya.
Dalam pengembaraannya ia mengambil corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-hadist. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-hadist harus diambil.Akan tetapi menutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan demikian imam syafii tidak fanatic terhadap salah satu  mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penengah antatara kedua metode yang ekstrim.ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus.
 Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih yang sampai saat ini masih mendapat apresiasi luar biasa dari mayoritas kaum muslimin dunia. Keunggulan utama Madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya, pendiri madzhab ini Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua aliran hukum Islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran tekstualis (madrasatul hadits) dan aliran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada substansi nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), dan dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalili analogi (qiyas). Sebagai Bapak Ushul Fiqih, Imam Syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang berfungsi untuk menganalisa beragam kasus hukum baru yang terjadi di kemudian hari. Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan, dan mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya ilmiah di bidang hukum Islam.
 Mazhab Syafi’i artinya adalah pendapat imam Syafi’i tentang masalah suatu hukum yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist berdasarkan analisis dan Ijtihad beliau.Selanjutnya bila seseorang dikatakan bermazhab Syafi’i maka artinya orang tersebut mengikuti jalan fikiran atau pendapat Syafi’i tentang masalah yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist.Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam, hal tersebut didasarkan pada masa dan tempat beliau mukim.Yang pertam adalah Qaul Qodim, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Irak, dan yang kedua adalah Qaul Jadid, yakni mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir yaitu setelah pindah dari Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i dibandingkan deng an Imam yang lainnya adalah beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kiitabnya Ar Risalah serta kitab Al-Umm dalam bidang Fiqh yang menjaid induk dari mazhabnya.
Qaul Qodim merupakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dihasilkan dari perpaduan antara mazhab iraqy yang bersifat rasional dan pendapat Ahlu al-Hadist yang bersifat tradisional, tetapi fiqh yang demikian lebih sesuai terhadap ulama-ulama yang datang dari berbagai negara Islam ke Makah pada saat itu, mengingat situasi dan kondisi negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Makah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi negaranya. Hal tersebut juga menyebabkan pendapat Imam syafi’i mudah diterima dan tersebar ke berbagai negara Islam. Kedatangan Imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak hanya beberapa bulan saja tinggal disana dan kemudian pergi ke Mesir, di mesir inilah tercetus Qaul jadid yang didektekannya kepada muridnya di Mesir. Qaul jadid Imam Syafi’i ini dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqih dan hadist dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi masyarakat Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakan di Irak.
Pokok-pokok fiqih Syafi’i ada lima:
1)      Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Imam Syafi’i memandang al-Qur’an dan al-Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau Sunnah menjelaskan al-Qur’an kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir.
Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut :
·         Perawinya terpercaya
·         Perawinya berakal
·         Perawinya dhabith (kuat ingatannya)
·         Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
·         Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang meriwayatkan hadits tersebut.
2)      Al-Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan beliau menempatkan ijma’ sesudah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas.
a.       Pendapat sahabat yang tidak ada yang menentangnya.
b.      Ikhtilaf sahabat Nabi
c.       Qiyas
Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didektekan kepada muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut:
a)      Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.
b)      Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
c)      Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
d)     Al-Imla’
e)      Al-Amaliy.
f)       Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
g)      Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
h)      Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
i)        Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadist-hadist Nabi SAW).
Daerah-daerah yang yang menganut mazhab Syafi’i adalah Libia, Mesir, Indonesia, Philipina, Malysia, Somalia, Arabia selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Paistan, India, Sunni-Rusia, Yaman, jazirah Indo China.[34]
Pendapat Imam Syafi’I dalam Kitab ar-Risalah dan Kitab al-Umm, diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’I berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
Suatu ketika Kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.”Kemudian seorang teman diskusinya bertanya : “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab :”Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-rabi’, bahwa Imam Syafi’I didalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata :
 “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan Sunah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, Juz 7, hal. 247 )
Keterangan diatas menunjukan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari al-Qur’an dan Sunah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Qur’andan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa’ra Rasyidun, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.

4.      Mazhab Hambali (Tahun164-241 H)
Pendiri Madzhab Hambali ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani.Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H di baghdad juga. Beliau keturunan Bani Sya’ban, yang berdomilisi di semenanjung jazirah arab. Pendidikan dasar, terutama al Quran yang di asuh oleh keduan orang tuanya. Pada usia 14 tahun beliau sudah dapat menghafal al Quran, dan kemudian Beliau mengembara kebeberapa negeri yang terkenal seperti Yaman, kufah, Basrah, Mekah, Madinah dan lain-lain. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadits dalam kitab Musnadnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
a.    Nash Al-Qur’an atau nash hadist, yaitu apabila beliau menemukan nash baik dari Al-Qur’an maupun hadist beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak pula memperhatikan pendapat-pendapat para sahabat.
b.   Fatwa sebagian sahabat, yaitu jika beliau tidak mendapatkan nash maka beliau berpegang teguh pada fatwa sahaby jika fatwa tersebut tidak ada yang menantangnya.
c.   Pendapat sebagian sahabat, beliau memandang pendapat sebagian sahabat sebagai dalil hukum. Jika terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah maka beliau mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.
d.   Hadist mursal atau hadist dhhoif, hal ini dipakai jika hadis tersebut tidak berlawanan dengan suuatu atsar atau pendapat seorang sahabat.
e.   Qiyas, jika beliau tidak memperoleh sesuatu dasar diantarayang tersebut di atas maka dipergunakanlah qiyas.
      Bahkan ia menjadikan perkataan tabi’in sebagai rujukan seperti perkataan sahabat, apabila terdapat perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka iman hambali akan memilih pendapat yang paling dekat dengan al-quran dan al-sunnah. Disamping itu hambali juga mengambil hadist mursal dan da’if sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya, yang dimaksud dengan da’if disini bukan da’if yang batil dan mungkar, tapi da’if yang termasuk salih atau hasan atau dengan kata lain hadist da’if dalam hal ini adalah hadist da’if yang paling atas. Menurutnya hadist ini lebih utama pada menggunakan qiyas, ia hanya menggunakan qiyas dalam keadaan yang darurat.
     Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini terlihat bahwa imam Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.  Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.Adapun ulama-ulama yang mengembangkan madzhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1)  Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram –  dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2)  Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
3)  Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan madzhab Hambali, di antaranya:
1)  Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
2)  Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3)  Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4)  Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah yang Menganut Madzhab Hambali, Awal perkembangannya, madzhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama.Pada abad XII madzhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. ( saat ini menganut Faham Abu Hanifah ).Dan masa sekarang ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Kitab-kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik,ia juga`seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya.
Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut :
1) Kitab Al-Musnad.
2) Kitab Tafsir al-Qur’an.
3) Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
4) Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur’an.
5) Kitab Jawabul al-Qur’an
6) Kitab al-Tarikh
7) Kitab Manasiku al-Kabir
8) Kitab Manasiku al-Shagir
9) Kitab Tha’atu al-Rasul
10) Kitab al-‘illah
11) Kitab al-Shalah.

       Mazhab Syiah

Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi ’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).  Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1. Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlus sunnah;
2. Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah tidak perlu; dan
3. Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.

Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.  Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: "Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza’i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i. Dalam al-Umm, asy-Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza’i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.

Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.

Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.  Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya, hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’. Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais, menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah nash).
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.  Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’. Ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra’yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).

Daftar pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar